Siapa saja bisa menjadi tunanetra karena sebab apapun. Entah saat ia terlahir ke dunia atau ketika dewasa. Namun bagi seseorang yang menjadi tunanetra saat usia dewasa jelas tidak mudah. Bagaimana tidak? Dulunya ia bisa melihat dunia, tapi kini dunianya menjadi menjadi gelap gulita. Tak bisa melakukan aktivitas seperti dulu kala dengan keterbatasan yang ada. Pasti butuh waktu dan proses penerimaan diri yang lebih panjang daripada seseorang yang menjadi tunanetra sejak lahir.
Tentu untuk melakukan aktivitas sehari-hari tunanetra memerlukan bantuan orang lain atau pendamping. Namun pendamping bagi difabel tidak bisa menemani selama 24 jam. Para pendamping juga mempunyai kegiatan sendiri.
Menurut data badan kesehatan dunia (WHO), jumlah penyandang tunanetra di dunia pada tahun 2017 mencapai 253 juta jiwa. Lancet Global Health memprediksi jumlah penyandang tunanetra meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050. Mengetahui membludaknya perkembangan populasi tunanetra yang tidak sedikit, beberapa teknologi diciptakan bagi tunanetra untuk mendukung kemandiriannya.
Seiring berjalannya waktu, teknologi semakin berkembang. Salah satu alat bantu bagi tunanetra yaitu huruf Braille. Kini huruf Braille tidak hanya bisa digunakan via media kertas, tapi juga perangkat teknologi, khususnya komputer.
Baca juga : 7 Aplikasi Bagi Difabel Untuk Membantu Aktivitas Sehari-hari
Huruf Braille diciptakan oleh Louis Braille yang menjadi tunanetra sejak berusia 3 tahun, karena kemampuannya menciptakan sistem huruf Braille pada 1826, ia terkenal hingga kini. Penemuannya sangat berjasa dan berguna bagi tunanetra. Sebuah monumen besar dibangun untuk menghormati dan mengenangnya. Louis Braille mengubah huruf konvensional menjadi suatu kombinasi titik-titik timbul pada bidang datar. Penemuan huruf Braille membantu tunanetra mampu membaca dengan alat khusus.
Dulu saya bertanya-tanya, Bagaimana caranya tunanetra bisa berkomunikasi menggunakan handphone dan mengirim sms? Namun pertanyaan saya itu terjawab setelah bergabung di Komunitas Sahabat Difabel di pertengahan Desember 2016 dan berinteraksi langsung dengan teman tunanetra. Selama ini saya tahunya alat bantu untuk tunanetra hanyalah huruf Braille. Ternyata saat menggunakan handphone, tunanetra menggunakan fitur tambahan yang bernama screen reader atau pembaca layar.
Semakin hari dan semakin lama mengenal serta berinteraksi dengan teman tunanetra rasa ingin tahu saya semakin bertambah. Terutama mengenai teknologi atau aplikasi yang mereka pakai untuk menunjang kemandirian mereka beraktivitas sehari-hari. Bagaimana teman-teman tunanetra bisa “melek teknologi”. Tidak hanya bisa mengirim sms, tapi juga bermain sosmed, update status, memposting foto, mengunggah video juga membuat stroy WA ataupun IG.
Suatu hari saya mempunyai kesempatan untuk mengobrol dengan salah satu teman tunanetra saya yaitu Irfan Bagus--yang bergabung dengan komunitas yang sama dengan saya. Irfan menjadi tunanetra saat berusia 16 tahun. Awalnya ia merasa depresi. Apalagi ketika dokter memberitahunya bahwa tidak ada harapan untuk kesembuhan matanya. Di RS Mata Yap, Yogyakarta, seorang dokter menyarankannya untuk ke Mardi Wuto. Mardi Wuto adalah badan sosial yang berada di bawah Yayasan Dr. Yap Prawirohusodo yang memiliki misi agar tunanetra bisa lebih mandiri, tidak tergantung orang lain, bisa menghidupi diri sendiri, tidak merasa minder, dan bisa melakukan apa yang biasa dilakukan oleh orang yang memiliki kelengkapan fisik atau non difabel.
Di Mardi Wuto, Irfan Bagus mempelajari teknologi bagi tunanetra. Awal belajar di Mardi Wuto, ia mempelajari bagaimana mengoperasikan handphone—yang saat itu masih menggunakan simbian atau HP Nokia dan mengoperasikan komputer dengan JAWS. Meski dengan aplikasi tambahan tetap bisa mengoperasikan gawai ataupun komputer seperti orang pada umumnya.
Obrolan yang cukup panjang dan mengasyikkan bersama salah satu teman tunanetra membuat pengetahuan saya mengenai teknologi yang digunakan oleh tunanetra semakin bertambah. Teknologi yang dipakai untuk mendukung tunanetra pun beragama. TalkBack yang digunakan untuk HP Android, VoiceOver atau biasa yang disebut Damayanti untuk IOS.
Dengan menggunakan VoiceOver, seorang tunanetra hampir bisa melakukan semua kegiatan di smartphone. Saat menggunakan WhatsApp misalnya tombol yang ada di WhatsApp bahkan pesan yang ada di dalamnya, dibacakan oleh VoiceOver. Semua bisa dibacakan oleh mesin yang diubah menjadi suara.
VoiceOver yang disematkan langsung di perangkat IOS mampu membaca 0,66 kata per menit dan hadir pertama kali di sistem operasi Mac, OSX 10.4, pada tahun 2005. Dari kisah dan pengalaman Irfan, saya bisa menyimpulkan seorang tunanetra harus mengembangkan dan mengutak-atik gawainya. Sehingga bisa menemukan dan memilih gawai apa yang akan ia gunakan, yang membuatnya nyaman dan mampu membantu kemandiriannya.
Untuk penggunaan VoiceOver dan TalkBack pun perlu penyesuain karena harus mendengar mesin berbicara, bahasanya yang kaku, adanya artikulasi yang kurang jelas, kata-kata yang belum familiar ataupun bahasa asing. Juga pengucapan kata yang memiliki ejaan kata yang sama, tapi berbeda pengucapannya atau disebut Homograf, misalnya kata apel, teras, dan serang.
Terkadang teman-teman non difabel lupa, saat mengirim pesan ke teman tunanetra menggunakan kata yang disingkat sehingga tidak bisa terbaca oleh VoiceOver ataupun TalkBack. Atau mengirim stiker juga foto yang tidak bisa mempresentasikan apa yang terlihat di layar smartphone, karena berdasarkan penelitian menyebutkan bahwa konversi situsweb yang berbentuk dua dimensi sukar diinterpretasikan dengan efektif ke dalam bentuk satu dimensi suara.
Drama Korea Start-Up, TvN |
Berbicara mengenai teknologi untuk tenanetra, saya jadi teringat dengan salah satu drama Korea yang pernah saya tonton yaitu Start-Up. Start-Up menceritakan tentang seorang pemuda bernama Nam Do San yang menciptakan aplikasi bernama NoonGil. Ide membuat aplikasi NoonGil ini tercipta karena nenek dari teman Nam Do San yang divonis dokter akan kehilangan penglihatannya, akibat fungsi matanya yang semakin memburuk. Nam Do San berharap teknologi yang ia ciptakan dapat membantu kemandirian tunanetra dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Aplikasi NoonGil berfungsi sebagai “mata pengganti” bagi tunanetra.
Cara kerja aplikasi NoonGil pun sangat mudah. Pengguna tunanetra harus menginstal aplikasinya terlebih dahulu. Setelah terpasang pada smartphone mereka, pengguna tunanetra hanya perlu mengarahkan kamera handphone ke suatu obyek tertentu, kemudian sistem akan mengenalinya dan menyampaikan nama benda melalui perintah suara. Luar biasa sekali ya fungsi dari NoonGil. Saya jadi terkagum-kagum dan bertanya-tanya, apakah aplikasi NoonGil benar-benar ada di kehidupan nyata atau sekadar fiksi belaka?
Nam Do San, pencipta aplikasi NoonGil di drama Korea Start-Up |
Untuk memastikannya, saya bertanya (lagi) pada Irfan. Ternyata aplikasi NoonGil belum ada. Aplikasi yang hampir mirip fungsinya dengan NoonGil adalah By My Eyes. Jika NoonGil menggunakan sistem yang tersemat pada aplikasi, sedangkan By My Eyes membutuhkan relawan. Ya, By My Eyes bekerja dengan menghubungkan pengguna tunanetra dengan relawan. Pengguna tunanetra akan menghubungi relawan melalui aplikasi By My Eyes berdasarkan bahasa dan zona waktu. Relawan akan menjawab melalui panggilan video langsung. Relawan akan menjawab pertanyaan atau hal apa saja yang dibutuhkan oleh pengguna tunanetra misalnya membantu sebagai penunjuk jalan agar tidak tersesat, mendiskripsikan benda atau orang yang ada di depan pengguna tunanetra, sehingga mereka tidak menabrak atau jatuh di selokan saat berjalan, membaca label dan keperluan lain yang membutuhkan bantuan secara visual.
Teknologi yang diciptakan untuk membantu kemandirian tunanetra beragam jenisnya. Dari aplikasi teknologi buatan dalam negeri ataupun luar negeri, aplikasi teknologi yang bisa diunduh secara gratis atau harus berlangganan dan berbayar. Semua aplikasi tersebut diciptakan untuk membantu tunanetra guna mendukung aktivitasnya sehari-hari. Dengan adanya teknologi, tunanetra tak lagi terlalu bergantung pada orang lain (orang yang mampu melihat). Dengan teknologi di genggaman tangan, seorang tunanetra bisa mengakses informasi apapun, kapanpun dan dimanapun. Dengan bantuan teknologi, tunanetra mampu melihat dunia dengan cara yang berbeda. Membantu mereka untuk mandiri melakukan aktivitas sehari-hari. Melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh non difabel meski dalam keterbatasan.
Seo Dal Mi dan neneknya yang divonis dokter akan kehilangan penglihatannya (Start-Up, TvN) |