Assalamu'alaikum teman-teman? Apa kabar? Semoga selalu dalam keadaan sehat ya. Di kesempatan kali ini saya akan menuliskan tentang pengalaman saya menjadi narasumber di acara Ngopi "Yang Langka Nyata dan Berdaya." Meski sudah seminggu berlalu tidak apa-apa kan kalau saya baru mempunyai kesempatan untuk menuliskannya hari ini, Senin, 9 Maret 2020.
Sabtu (29/2) saya memiliki kesempatan untuk menjadi narasumber di acara Ngopi (Ngobrol Pintar) dengan tema "Yang Langka Nyata dan Berdaya" yang diadakan oleh Komunitas Sahabat Difabel dalam rangka memperingati Rare Disease Day atau Hari Kelainan Langka Dunia.
Saat tahu akan diadakan acara Ngopi ini saya senang sekali. Bagaimana tidak? Karena sebelumnya belum ada acara yang diadakan dalam rangka memperingati Rare Disease Day di Semarang. Persiapan untuk acara Ngopi ini dilakukan dengan matang. Dari membuat konsep acara, membuat proposal, materi acara dan lain-lain. Salah satu hal yang dipersiapkan untuk acara Ngopi adalah flyer. Tentu agar sebuah acara bisa diketahui khalayak ramai harus dibuat pengumuman berupa selebaran, poster atau flyer. Dan pembuatan flyerpun diserahkan pada Sofi, salah satu anggota KSD, penyandang Difabel fisik yang menyukai desain dan saat ini kuliah semester 6 Jurusan Teknik Informatika UNISSULA.
Selalu ada kisah di balik terciptanya suatu karya. Begitu pula dengan desain poster untuk Ngopi "Yang Langka Nyata Berdaya" Desain poster Ngopi mengalami beberapa tahap revisi hingga menemukan desain poster yang cocok. Gimana keren kan? Ternyata hasil karya difabel tidak kalah dengan non difabel. Difabel bisa melakukan hal yang sama dengan non difabel asal diberi kesempatan.
Untuk acara Ngopi ini saya mempersiapkan diri dengan matang. Dari persiapan fisik, mental dan juga materi apa yang akan saya sampaikan saat Ngopi nanti. Salah satu kekhawatiran saya adalah masalah kesehatan. Saya takut jika kondisi saya mendadak drop. Aduh jangan sampai ya Allah. Maka dari itu saya betul-betul menjaganya. Apalagi di acara Ngopi ini, tak hanya saya yang menjadi narasumber, tapi ada juga Dr. Asri Purwanti.
Rasanya saya sudah tidak sabar menunggu hari itu datang. Sehari menjelang acara Ngopi, perasaan saya dag dig dug tak karuan. Meski sudah beberapa kali tampil dan berbicara di depan banyak orang, rasa deg-degan itu tetap ada. Apalagi saat mendapat kabar jika peserta yang hadir 125 orang. Wah luar biasa antusiasme peserta.
Ternyata rasa deg-degan itu tak hanya saya yang merasakan, tapi juga teman-teman KSD yang terlibat di acara Ngopi seperti mbak Menik, Mas Hilal, Mas Irfan dan Fawaz.
"Takutnya tidak tenang dan takut sebut nama"
"Saya kok deg-degan yah."
"Stress nih."
80% panitia Ngopi "Yang Langka Nyata Berdaya." adalah teman-teman KSD, Istimewa bukan? Mbak Menik sebagai penanggung jawab acara, yang gesit dengan kursi rodanya. Mas Hilal Huda sebagai moderator. Ahmad Fawaz (CP) dan Mas Irfan (difabel netra) sebagai MC. Kami saling menguatkan satu sama lain dan berdoa agar acara berjalan lancar.
Irama jantung mulai teratur. Sebagai narasumber, saya mendapat giliran di sesi kedua, tapi detik-detik acara akan dimulai saya dapat kabar jika saya akan mengisi sesi pertama. Duh, jantung mulai deg-degan lagi nih. Saya terus merapalkan doa agar diberi ketenangan dan materi yang saya sampaikan bisa diterima oleh peserta.
Bismillah, saatnya berbagi pengalaman, Mas Hilal Huda sebagai moderator (Foto : Dok. Pak Suwito)
Di acara Ngopi "Yang Langka Nyata dan Berdaya." Saya membagikan pengalaman saya bagaimana menjalani hidup sebagai odalangka (orang dengan kelainan langka) Friedreich's Ataxia. Di acara Ngopi, ibu saya juga berkesempatan berbagi pengalaman beliau dalam mendampingi saya dalam menghadapi kelainan langka yang saya miliki.
Seorang ibu, tentu tak akan kuasa membendung airmata dan terbata ketika bercerita tentang buah hatinya yang istimewa. Apalagi ketika mengungkapkan harapan untuk masa depan anaknya. Apa sih harapan orangtua yang memiliki anak difabel? Mereka ingin anaknya mandiri baik secara fisik dan finansial sehingga tidak menjadi beban orang lain. Namun mewujudkan hal tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan.
Maka tak heran, orangtua yang memiliki anak difabel dilanda kekhawatiran tentang masa depan anaknya. Saya pernah berada di fase mengkhawatirkan bagaimana masa depan saya nantinya. Apalagi saat pertama kali kehilangan motorik kaki dan menggunakan kursi roda. Namun saat terlalu memikirkannya malah berdampak tidak baik bagi kesehatan dan pikiran.
Masa depan seseorang memang tidak ada yang tahu. Terlalu mengkhawatirkan masa depan memang tidak bagus. Terlalu cuek akan masa depan juga tidak baik. Mempersiapkan masa depan untuk diri sendiri itu wajar, tapi jangan berlebihan.
Ibu tak bisa membendung airmatanya saat berbagi pengalaman di acara Ngopi (Foto : Dok. Pak Suwito)
Bagi saya pribadi, kemandirian fisik memang perlu dilatih (setiap difabel tentu beda melatihnya) Ya paling tidak sebagai difabel saya harus berusaha melakukan apapun sendiri. Jika terpaksa baru minta tolong, karena tidak setiap saat ada orang di dekat saya yang bisa membantu.
Lalu bagaimana mempersiapkan masa depan agar bisa mandiri secara finansial. Kan cari kerja buat difabel itu susah? Ya kalau sulit kenapa tidak buat usaha sendiri? Jualan pulsa misalnya atau mendapatkan penghasilan dari hal yang kita sukai. Yang terpenting punya keinginan untuk mendapatkan penghasilan meski hasil belum seberapa.
Bukankah hal yang menyenangkan jika mendapatkan penghasilan dari hal yang kita suka?
Jangan lupa sisihkan penghasilan untuk hal yang tak terduga atau untuk mewujudkan keinginan kita.
Masa depan memang menjadi misteri Illahi, tapi tak ada salahnya mempersiapkan diri.
Selain bisa berbagi pengalaman bagaimana menjalani hidup sebagai odalangka Friedreich's Ataxia. Saya juga mendapatkan ilmu baru dari Dr. Asri Purwanti mengenai Strategi Tumbuh Kembang Optimal untuk Anak Penyintas Kelainan Langka.
Anak adalah rezeki dari surga, apapun keadaannya. Agar anak dapat menjadi generasi penerus bangsa yang baik, maka anak perlu memiliki kesehatan fisik dan mental serta kesehatan yang prima agar tumbuh dan berkembang dengan optimal.
72% kelainan langka disebabkan oleh genetik sementara yang lainnya adalah hasil dari infeksi (bakteri atau virus), alergi dan penyebab lingkungan atau bersifat degeneratif dan proliferatif. Banyak masyarakat yang belum tahu apa itu kelainan langka, bahkan terkadang odalangka itu sendiri belun memahami tentang kelainan langka yang ia miliki. Jika odalangka tahu penegakan diagnosis, maka bisa menentukan langkah yang tepat untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Di Indonesia penanganan kelainan langka masih bersifat fragmental, terkendala biaya, tidak ada stimulasi yang optimal.
Perjumpaan dengan keluarga Indonesia Rare Disorders (IRD)
Senang dan bersyukur saat acara Ngopi (29/2) bisa bertemu lagi dengan Pak Koko Prabu yang memiliki putra bernama dik Oyik dengan kelainan langka Cornelia de Lange Syndrome Tak hanya itu saja, saya juga bisa bertemu dengan dik Al dan keluarga IRD yang lainnya. Dik Al adalah odalangka Charge Syndrome
Sehari sebelum acara, mbak Oriza Octarina, ibunda dik Al menghubungi saya menanyakan kondisi lokasi acara Ngopi. Apakah tempat tersebut nyaman? Apakah tempatnya dingin atau tidak? Karena dik Al, sukanya dingin kalau kelamaan di tempat panas seperti stridor nafasnya. Kemudian saya menjelaska tentang kondisi acara Ngopi sehingga dik Al bisa nyaman hingga acara.
Ya kenyamanan memang hal utama, terlebih lagi bagi odalangka. Tak semua odalangka bisa mengatakan apa yang ia mau, apa yang ia suka atau tidak. Saat odalangka merasa tidak nyaman, maka akan memberikan "tanda" baik secara psikia atau fisik.
Semoga dengan diadakan acara Ngopi kali ini bisa menambah pengetahuan masyarakat tentang kelainan langka, perawatan dan dampaknya bagi odalangka itu sendiri, orangtua, caregiver dan lingkungan.
Maka dari itu diperlukan kerjasama yang erat antara dokter, rumah sakit, orangtua odalangka untuk melakukan pengobatan kelainan langka (integrative, komprehensif, dan transdisiplin) dari berbagai cabang ilmu kedokteran.
Terima kasih Noviana Dibyantari yang sudah memberi kesempatan pada saya untuk menjadi narasumber.
Terima kasih Bu Dr. Asri untuk ilmu dan dukungannya untuk saya.
Terima kasih Pak Suwito Wito untuk dokumentasinya.