RODA KEBAIKAN YANG TAK PERNAH BERHENTI UNTUK SALING MEMBANTU BENCANA DI SUMATRA MELALUI DOMPET DHUAFA

December 19, 2025

 

dompet-dhuafa-saling-membantu-korban-bencana

 

Bencana banjir yang melanda Sumatra di akhir tahun 2025 ini datang dengan intensitas yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dari berita-berita yang saya lihat di TV maupun media sosial. Air mulai naik dengan kecepatan yang mengerikan di wilayah Pesisir Selatan, Padang Pariaman, hingga Kota Padang.

Bagi orang dengan fisik sempurna, banjir adalah aba-aba untuk berlari. Namun, bagi saya seorang difabel pengguna kursi roda banjir adalah sebuah "penjara" yang tiba-tiba menyempit. Ketika saya melihat berita bencana di Sumatra. Muncul sebuah video viral. Di video, diperlihatkan seorang bapak lansia penderita stroke yang terjebak banjir di dalam rumahnya. Bapak tersebut hanya bisa duduk pasrah di kursi rodanya dengan separuh tubuh yang terendam air banjir yang memenuhi seluruh ruangan rumahnya.

Peristiwa memprihatikan itu terjadi di Langkat, Sumatera Utara, pada akhir November 2025. Dalam unggahan video yang dibagikan oleh anak korban, Rose Marie Manroe, mengungkapkan kesulitan dan kebingungannya mencari tempat yang aman untuk mengungsikan ayahnya dalam kondisi darurat tersebut. 

Sungguh memilukan bukan? Saya kemudian membayangkan jika saya berada di posisi bapak tersebut. Bagaimana paniknya saya dan rasa tak berdaya ketika air mulai merayap masuk ke celah pintu, ketika jeruji kursi roda saya mulai terendam air yang dingin dan berwarna pekat. Ke mana saya harus "berlari" untuk menyelamatkan diri? Bagaimana saya bisa naik ke atap? Bagaimana saya bisa menembus arus yang bahkan orang dewasa non difabel pun sulit melaluinya? Atau saya hanya bisa pasrah. Duduk terdiam di kursi roda. Menatap air yang terus meninggi sambil berdoa, agar ada tangan yang cukup kuat untuk menggendong saya keluar.

 

dompet-dhuafa-saling-membantu-korban-bencana
Membersihkan bangunan yang terkena banjir (Foto : Dok. Dompet Dhuafa)


Banjir di Sumatra tidak hanya merusak bangunan fisik. Bagi seorang difabel, banjir berarti hilangnya kemandirian yang sudah susah payah dibangun. Kursi roda yang rusak karena terendam lumpur, akses jalan yang hancur sehingga terisolasi di pengungsian, hingga fasilitas sanitasi di tenda darurat yang tidak ramah dan aksesibel bagi pengguna kursi roda.

Bisa dibayangkan bagaimana kepanikan dan kendala yang dialami ketika bencana banjir terjadi di Sumatra? Bagaimana seorang difabel netra meraba-raba di tengah arus air untuk mencari pegangan? Difabel Tuli yang tidak mendengar sirene peringatan ketika air mulai naik atau kebingungan yang dialami difabel intelektual ketika proses evakuasi berlangsung tanpa pendamping?

Mengevakuasi seorang pengguna kursi roda butuh cara yang berbeda. Membimbing seorang difabel netra dan Tuli menerjang arus air butuh kesabaran ekstra. Menenangkan difabel intelektual di tengah terjangan banjir butuh pendekatan khusus.

 

dompet-dhuafa-saling-membantu-korban-bencana
Distribusi dan evakuasi menggunakan perahu (Foto : Dok. Dompet Dhuafa)

Aksesibilitas menjadi barang mewah di tengah bencana. Tangga-tangga darurat yang curam, perahu karet yang sempit, hingga tenda pengungsian yang tidak memiliki jalur landai bagi kursi roda adalah hambatan fisik yang menyakitkan. Namun, yang lebih menyakitkan adalah hambatan mental ketika orang-orang menganggap bahwa menyelamatkan difabel itu "merepotkan".

Sungguh miris, tapi inilah realita yang sering terlupakan dalam narasi bencana. Di balik angka-angka statistik pengungsi, jumlah rumah yang terendam banjir, atau harta yang hanyut karena arus air. Mereka (mungkin) lupa ada kelompok rentan yaitu difabel dan lansia. Yang mereka butuhkan bukan hanya sekadar peringatan. Namun yang dibutuhkan adalah uluran tangan yang lebih kuat dan sistem evakuasi yang lebih inklusif.

Penanganan bencana berbasis inklusi adalah penanganan dengan respons yang cepat dan terkoordinasi agar tidak ada satu kelompok pun yang tertinggal termasuk difabel.  Karena stigma negatif terhadap difabel yang selalu dianggap beban sehingga keberadaan mereka terabaikan untuk segera dievakusi. Padahal difabel adalah kelompok rentan yang paling membutuhkan aksi lebih cepat dan tanggap ketika evakuasi bencana.

 

Bersama Dompet Dhuafa Merajut Asa untuk Sumatra 

Di tengah bencana yang melanda Sumatra, saya melihat secercah cahaya yang dibawa Dompet Dhuafa. Namun, Dompet Dhuafa tidak bisa berjalan sendirian untuk melakukannya. Beban yang dipikul Sumatra di tahun 2025 ini terlalu berat jika hanya ditanggung oleh segelintir orang. Dibutuh gerakan kolektif dan lebih banyak hati yang berempati untuk ikut merasakan dinginnya air yang merendam kaki saudara-saudara kita di Sumatra.

Sebelum tahun berganti, sucikan harta dan diri. Sempurnakan akhir tahun dengan zakat karena zakat dari kita sangat bermanfaat untuk mereka yang terdampak bencana. Seperti roda kebaikan yang tak berhenti berputar untuk #SalingMembantu meringankan beban korban bencana alam di negeri ini. Mari tunaikan zakat akhir tahun melalui Dompet Dhuafa dengan klik link ini. Jadikan musibah banjir Sumatra 2025 ini sebagai momentum untuk membangun masyarakat yang lebih tangguh dan lebih peduli pada kelompok rentan. 

Dari atas kursi roda, saya mengirimkan doa dan harapan. Lekaslah bangkit Sumatra!

You Might Also Like

0 komentar

Subscribe