Dimuat di Minggu Pagi, 06 September 2019
SI KUDA HITAM
Oleh : Yeni Endah
Amel berharap, hal buruk yang baru ia dengar adalah salah satu dialog yang dialami dalam tidurnya. Semakin kuat ia menepis, semakin kuat pula kalimat itu terngiang.
“Tulisanmu itu jelek. Nggak layak dijual Mel. Lebih menjual tulisan Anne,” ucap Debi saat istirahat sekolah.
“Kamu kok ngomongnya jahat gitu Deb,” ucap Amel spontan. Tubuhnya bergetar. Badannya lemas, seakan tak mampu lagi menopang tubuhnya. Ia tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar apalagi kalimat itu keluar dari bibir Debi, sahabatnya sejak kecil.
“Memang kenyataannya seperti itu,” ujar Debi kemudian pergi meninggalkan Amel begitu saja.
“Sudah nggak usah dipikirin omongannya Debi, Mel,” hibur Ria, salah satu teman sekelas Amel. “Saat orang berkomentar tulisanmu jelek dan tidak laku dijual, maka buatlah tulisannya yang kedua, ketiga, keempat dan tulisan-tulisan lainnya yang lebih bagus.”
Amel bisa mengerti jika mungkin saja ia telah melakukan kesalahan yang tak disadarinya dan Debi menegurnya secara langsung. Berbicara empat mata. Tapi Debi telah mempermalukannya di depan teman-temannya dan yang semakin membuatnya tak mengerti, Debi mengatakan hal itu di depan Anne- teman sekelas yang juga mempunyai hobi menulis seperti Amel.
Seminggu sejak kejadian di kantin sekolah, hubungan Amel dan Debi membeku. Berkali-kali Amel mencari cara dan meminta waktu untuk berbicara dengan Debi, tapi tidak ditanggapi.
***
Amel membuka laptopnya, kemudian memasukkan flashdisk. Puluhan judul cerita pendek sudah ia tulis, tersimpan rapi di dalam flashdisk. Amel membuka cerpen hasil goresan tangannya dan membacanya satu persatu.
“Apa iya tulisan Anne lebih menjual daripada tulisanku? Dari segi mana nilai jualnya?” tanya Amel dalam hati. “Kenapa Debi membandingkan tulisanku dengan Anne? Bukan membandingkan dengan teman yang lebih sepadan? Aku akui memang belum semua tulisanku berhasil dimuat di koran atau menjadi juara.”
Perkataan Debi berhasil membuat Amel tidak bersemangat untuk menulis. Biasanya dalam hitungan detik, ia sudah menemukan ide dan dengan lancar mengetiknya di keyboard. Sudah satu jam ia hanya duduk di depan laptop, tapi layar itu masih putih. Belum ada satu kalimatpun yang berhasil ia ketik.
***
“Lagi mikirin apa sih? Masih keinget sama omongannya Debi ya?” Ria menepuk pundak Amel yang duduk sendiri di bangku taman sekolah.
Amel mengangguk lemah.
“Sudahlah Mel. Nggak usah dipikirin.”
“Tapi Ria, kenapa Debi membandingkan tulisanku dengan Anne?” tanya Amel penasaran.
Ria terkekeh, “Nah, apalagi tulisanmu dibandinginnya sama Anne yang nggak sepadan kalau dibandingin sama kamu, Mel. Ya sih Anne itu katanya suka nulis, tapi sejauh ini yang aku tahu Anne belum memperoleh prestasi apapun di dunia literasi.”
“Tapi prestasi yang kuperoleh masih sebatas juara antar sekolah.”
“Nggak apa-apa dong. Segala sesuatu dimulai dari hal kecil. Berprestasi di tingkat sekolah kemudian meningkat ke tingkat nasional dan internasional.” Ria memberikan semangat.
***
Amel melompat bahagia, setelah membaca pengumuman di website sebuah penerbitan jika tulisannya lolos dan akan dibukukan dalam sebuah buku antologi. Mendengar kabar itu, teman-teman Amel menghampiri dan memberi ucapan selamat.
“Baru buku antologi alias buku keroyokan aja bangga. Bangga itu kalau satu buku mencantumkan namamu sendiri. Ini satu buku, penulisnya rame-rame,” kata Debi kasar diiringi gelak tawa.
Semua mata tertuju ke arah Debi. Memandangnya dengan tatapan tajam.
“Meski buku antologi tapi itu prestasi yang patut diacungi jempol. Apalagi ini lolos seleksi di penerbit mayor.”
“Udah nggak ngasih ucapan selamat ke Amel malah ngehina gitu. Kamu sendiri belum tentu bisa nulis kayak Amel.”
Dukungan yang diberikan teman-teman pada Amel. Meski hatinya sakit mendengar ucapan Debi, tapi rasanya tidak seperih dulu.
Memperoleh sokongan dari teman-teman, Amel semakin mantap untuk mengikuti panggilan hidupnya yaitu menulis. Amel terus mengasah kemampuannya, dengan membaca dan memperbanyak latihan menulis juga mengikuti pelatihan menulis berbayar ataupun free. Ia lalu memberanikan diri mengirimkan tulisannya ke berbagai media cetak. Tulis, kirim lalu lupakan.
Waktu berlalu, tulisan demi tulisan yang Amel kirimkan berhasil dimuat di koran. Cerpen karya Amel semakin banyak yang terbit di media cetak. Meski begitu, tak menghentikan omongan nyinyir dari Debi.
“Paling itu cuma kebetulan. Pas di meja redaktur sepi naskah. Atau kenal orang dalam.”
Mental Amel yang mulai terbangun, perlahan kembali terkikis.
“Jika dimuat di koran itu berarti tulisanmu sudah memenuhi selera redaktur dan standar dari koran tersebut.” Ria kembali membangkitkan semangat Amel.
***
Saat melewati koridor sekolah, Amel mendapat tepukan tangan dari teman-temannya.
“Hebat Mel!”
“Selamat Mel. Salut!”
“Sukses selalu ya Mel!”
Amel tidak mengerti apa yang mereka katakan. Ia hanya tersenyum. Langkahnya terhenti di depan mading sekolah.
“Ini dia sang juara, yang sudah mengharumkan nama sekolah kita. Kebanggan kita semua.” Ria menjulurkan tangannya dan memberikan selamat.
“Apa yang terjadi?” tanya Amel heran.
“Cerpenmu menang lomba menulis tingkat Nasional.” Ria menunjuk sebuah cerpen yang dipajang di mading sekolah. Sebuah cerpen dengan judul Si Kuda Hitam. Amel masih tak percaya, cerpennya menjadi juara nasional. Terpilih menjadi yang terbaik. Bersaing dengan ratusan cerpen yang diikutsertakan lomba.
Kini si kuda hitam telah melompat tinggi. Berhasil melewati segala rintangan yang berusaha menjegal langkahnya.
“Aku menyukai menulis, kenapa harus berhenti? Memang tidak mudah membuat tulisan yang berkualitas dan bisa menyentuh hati para pembaca. Pada akhirnya usaha tidak akan mengkhianati hasil. Berhenti di tengah jalan dan menjadi pecundang atau berjuang hingga jadi pemenang,” ujar Amel mantab.
SELESAI
Jika teman-teman ingin mengirim cerma ke Minggu Pagi silakan klik di sini.
Salam Literasi. Mari Berkarya dengan cinta dan ketulusan.