JALAN TERJAL UNTUK MENCAPAI TUJUAN DALAM KETERBATASAN

July 25, 2023

jalan-terjal-untuk-mencapai-tujuan-dalam-keterbatasan


JALAN TERJAL UNTUK MENCAPAI TUJUAN DALAM KETERBATASAN




Aku pernah bertanya pada Allah, Sang Maha Pencipta, mengapa Dia menciptakanku "berbeda"? Apa tujuan Allah menghadirkanku ke dunia jika aku harus hidup dalam keterbatasan? Bukan tanpa alasan jika aku mempunyai pertanyaan seperti itu. Hal ini berkaitan dengan kondisiku sebagai seorang difabel.

Aku adalah seorang difabel karena kelainan langka bernama Friedreich's Ataxia. Allah mengambil kemampuan motorik kakiku di tahun 2006. Sejak saat itu aku harus menggunakan kursi roda sebagai alat bantu mobilitas. Sebenarnya aku sudah terlihat istimewa sejak kecil. Bentuk kakiku high arches. "Jinjit" biasa orang Jawa menyebutnya. Namun saat aku sudah tidak mampu lagi berjalan, membuatku berpikir jika aku tidak mempunyai tujuan hidup. Cita-cita yang ingin kugapai seketika sirna.

"Ya, Allah kenapa Kau berikan cobaan ini padaku. Bukan orang lain," rutukku dalam hati.

Dalam kondisi seperti itu, aku merasa benar-benar kehilangan arah. Yang kulakukan hanya mengurung diri di kamar, menghabiskan waktu untuk menangis dan meratapi diri sendiri.

"Tidak apa-apa jika kamu bersedih. Asal jangan berlarut-larut. Sekarang kamu harus fokus dengan apa yang kamu miliki. Bukan memikirkan apa yang hilang darimu. Setiap makhluk yang Allah ciptakan di dunia ini pasti memiliki tujuan. Begitu juga kamu, Nak,"  Ibu suatu hari sambil memelukku erat.

Baca juga : 7 Hal yang Membuat Saya Terus Menulis Meski Hanya Dengan Satu Jari


Seiring berjalanya waktu, berkat dukungan orang-orang yang ada di sekitarku. Perlahan aku sudah bisa berdamai dengan diri sendiri dan menerima takdir-Nya jika  seorang sekarang aku adalah seorang difabel. Hal pertama yang aku lakukan adalah aku mulai kembali memulai hobiku menulis yang dulu sempat lama kutinggalkan. Jika awalnya aku menulis di diary, aku mulai menulis di blog. Tujuanku menulis adalah untuk mencurahkan apa yang ada di pikiranku.  Dengan menulis, aku tidak terlalu memikirkan kondisi yang sedang aku alami. Menulis adalah healyng theraphy untukku. Selain itu aku berpikir jika menulis di blog tulisanku bisa dibaca banyak orang. Aku ingin berbagi kisahku, bagaimana menjalani hidup sebagai seorang difabel karena kelainan langka Friedreich's Ataxia. Aku sama sekali tidak menyangka jika tulisanku di blog mendapat respon positif dari para pembaca.

Aku sering mendapatkan pesan melalui email ataupun instagram yang mengatakan jika tulisanku sangat bermanfaat terutama bagi orang tua yang memiliki anak dengan kelainan langka. Karena membaca tulisanku mereka menjadi semangat untuk merawat buah hati mereka. Masya Allah, aku merasa bahagia, terharu sekaligus bersyukur saat membaca pesan-pesan itu. 

"Ya Allah, meskipun aku hanya di rumah saja, tapi aku bisa bermanfaat untuk orang lain."

Sejak saat aku memutuskan untuk menjadi penulis. Aku mulai belajar tentang kepenulisan lebih dalam dengan mengikuti pelatihan menulis baik secara daring maupun luring. Meski memiliki keterbatasan, tidak menghalangiku untuk belajar. Bukankah belajar bisa dimana saja dan kapan saja? Apalagi di era digital seperti saat ini, aku bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentang pelatihan menulis yang diadakan secara online ataupun offline yang sesuai denganku.

Saat pertama kali aku memutuskan untuk menekuni dunia literasi, tak semua orang menyetujui. Sebagian menganggap menulis tidak ada manfaatnya.

"Buat apa kamu menulis, cuma buang-buang waktu aja Yen?"

"Memangnya dari menulis kamu dapat apa?"

"Seperti tidak ada pekerjaan lain yang bisa kamu lakukan selain menulis, Yen?"

Itulah kalimat-kalimat yang pernah memojokkanku. Namun aku tetap pada pendirianku. Toh keputusanku untuk menekuni dunia menulis tidak merugikan siapapun. Selain itu, Ibu sudah merestuinya. Jadi untuk apa aku pedulikan omongan orang lain.

Jika sebelumnya aku menulis di blog. Karena dorongan sahabatku, aku mulai mengikuti lomba menulis. Dimana cerita yang terpilih akan dibukukan ke dalam buku antologi. Tak disangka, aku langsung lolos ketika mengikuti lomba menulis di salah satu penerbit indie. Sejak saat itu, aku mulai sering ikut lomba menulis untuk mengasah kemampuan. 

Saat aku berhasil lolos lomba dan tulisanku dibukukan, aku mendengar hal-hal buruk tentang diriku.

"Halah baru nulis buku antologi aja udah bangga."

"Kalau nulis buku itu ya buku solo, bukan buku keroyokan. Masa satu buku penulisnya banyak."

Aku berharap hal buruk yang baru aku dengar adalah salah satu dialog yang aku alami dalam mimpi. Namun semakin kuat aku menepis, semakin kuat pula kalimat itu terngiang.

Aku mencoba menutup telingaku. Aku tidak mungkin menjelaskan kepada mereka jika lolos seleksi buku antologi itu bukanlah hal yang mudah. Saat lolos lomba menulis antologi aku mendapat banyak manfaat. Diantaranya mendapat teman baru, memperoleh ilmu tentang kepenulisan dan memperluas jaringan pertemanan sesama penulis.

Segala sesuatu di dunia ini selalu ada dua sisi. Begitu juga saat tulisanku berhasil dimuat di salah satu koran nasional, ada rasa bahagia sekaligus bangga dalam diriku. Namun rasa itu seketika sirna. Ya, lagi-lagi aku tidak mengerti kenapa ada orang yang dengan remeh menilai prestasi seseorang.

"Ya jelas tulisanmu dimuat. Pasti saat itu tidak ada tulisan yang dikirim ke koran itu. Jadi tulisanmu bisa dimuat."

Duh, kok seenaknya bisa bilang begitu. Pasti kamu belum tahu sulitnya sebuah tulisan dimuat di koran. Tidak semua orang bisa. Setiap hari ada ratusan tulisan yang diterima redaktur dan melalui seleksi juga bersaing dengan penulis lainnya.


Baca juga : Kebahagiaan yang Didapat Dari Menulis


Perjalanan menulisku tidak semulus jalan tol, seperti yang orang pikirkan. Aku masih ingat betul, ketika orang yang sudah aku anggap seperti kakak sendiri membandingkan diriku dengan orang lain. Katanya karyaku lebih menjual daripada karya si A, padahal  saat itu, si A belum mempunyai karya satupun dibandingkan aku. Entahlah, aku tidak tahu mengapa dia bisa mengatakan seperti. Jujur perkataannya selalu terngiang ngiang dalam pikiranku. Sempat pula membuatku tidak bersemangat untuk menulis. Biasanya dalam hitungan detik, aku sudah bisa menemukan ide dan dengan lancar mengetiknya di keyboard, tapi sudah satu jam, aku hanya duduk di depan laptop, tapi layar itu masih putih. Belum ada satu kalimatpun yang berhasil aku ketik. 

Meski banyak rintangan yang aku alami untuk menggapai tujuanku sebagai penulis, aku tidak akan menyerah begitu saja. Segala hal yang telah kulalui sampai saat ini akan terasa sia-sia jika aku menyerah. Aku belum bisa mengatakan apakah aku sudah mencapai tujuanku, karena perjalanan hidupku masih panjang. Selama aku masih bernapas, aku akan terus menulis. Jika tugasku di dunia sudah selesai dan kembali pada-Nya, aku ingin orang mengenangku melalui karya-karyaku. Semoga tulisanku bisa menjadi salah satu ladang pahala untukku nanti.

Karya-karyaku sudah dimuat di media cetak lokal maupun nasional, juga berhasil meraih juara. Meski memiliki keterbatan fisik, aku bisa berdaya, berkarya dan mengukir prestasi seperti non difabel. Dengan berkarya, aku tak perlu repot-repot menjelaskan siapa diriku. Karena karyakulah yang akan berbicara. Jalan terjal yang kulalui dalam mencapai tujuan membuatku menjadi penulis difabel yang tangguh.

"Aku menyukai menulis, kenapa harus berhenti? Pada akhirnya usaha tidak akan mengkhianati hasil. Berhenti di tengah jalan dan menjadi pecundang atau berjuang hingga jadi pemenang," 


You Might Also Like

0 komentar

Subscribe