Selasa pagi, 29 Juni 2021 sebenarnya saya mempunyai niat untuk mengirim tulisan ke rubrik Ah, Tenane Solopos. Sudah seminggu lebih, tulisan terakhir yang saya kirim ke rubrik Ah Tenane Solopos belum dimuat juga. Biasanya tak lebih dari seminggu, bahkan pernah hanya menunggu dua hari sudah dimuat. Ya, jadi saya berpikir tulisan saya nggak dimuat.
Eh, waktu mau kirim email, buka grup JKHI Mbak Noer Ima Kaltsum memberi kabar bahagia.
"Nasi Kotak. Semarang."
Alhamdulillah, setelah penantian seminggu lebih Nasi Kotak mendarat dengan selamat pada hari Selasa, 29 Juni 2021, di Solo.
Selamat membaca!
NASI KOTAK
Oleh : Yeni Endah
Senin siang, Bu Lady Cempluk menerima pelanggan yang ingin memesan nasi kotak di usaha catering-nya.
“Bu saya mau pesan nasi kotak ayam goreng crispy sambal lalap yang biasanya harga Rp.10.000 jadi Rp. 8000, boleh?” tawar Bu Genduk Nicole.
“Boleh. Mau dikurangi porsinya atau tidak pakai sambal lalap?” Bu Cempluk tidak pernah berkata tidak saat ditawar. Baginya tidak apa untung sedikit yang penting usahanya lancar dan berkah.
“Porsinya seperti biasanya, tapi harganya saya tawar.”
“Mau pesan untuk acara apa?” Bu Cempluk memastikan, untuk acara tertentu ia memang memberikan harga khusus.
“Arisan.”
“Harga nasi kotak Rp.10.000 untuk ayam crispy lengkap dengan nasi dan sambal lalap sebenarnya sudah murah sekali. Jika untuk dimakan dhuafa atau anak yatim saya bersedia, tapi kalau untuk keperluan pribadi, ngapunten mboten saged, Bu,” jelas Bu Cempluk.
Baca juga : Cara Kirim Tulisan ke Rubrik Ah Tenane Solopos
Tak puas mendengar penjelasan bu Cempluk, bu Nicole menanyakan bahan dan keperluan untuk pembuatan nasi kotak.
“Mboten saged ditawar nggih Bu, padahal modale Rp.8000.” Ternyata di tengah obrolan, Bu Nicole menghitung berapa modal yang dikeluarkan oleh Bu Cempluk untuk satu kotak nasi.
Bu Cempluk memuji kepintaran Bu Nicole menghitung modal yang ia keluarkan.
“Kalau begitu kenapa ibu tidak masak sendiri saja?”
Nasi Kotak, dimuat di Rubrik Ah Tenane Solopos, edisi Selasa, 29 Juni 2021 |
“Repot Bu, saya juga nggak punya alat masak besar. Masa harus pinjam. Rumah berantakan kalau masak sendiri. Badan jadi capek, dan harus panggil tukang pijat.” Bu Cempluk sudah menduga jawaban apa yang ia dapat.
“Makanya itu Bu, kenapa nasi kotak modal Rp. 8000, saya jual Rp. 10.000. Masak itu ribet. Kuku jadi hitam, rambut jadi berminyak, wajah jadi kotor. Belum lagi anak dan suami tak terurus. Pengen praktis nggih pesen mawon. Kalau nawar ya jangan kebangetan,” ucap Bu Cempluk tegas lalu meninggalkan Bu Nicole dan melanjutkan menyelesaikan pesanan pelanggan lainnya.