Tidak ada tulisan yang jelek saat naskah yang kamu kirim ke media belum juga dimuat. Yang ada hanya naskah yang belum "berjodoh" atau menunggu waktu yang tepat untuk dimuat. Seperti naskah saya berjudul "Kebebasan yang Terenggut" adalah naskah yang saya kirim ke Minggu Pagi sekitar satu tahun yang lalu. Rubrik Cerma atau Cerita Remaja sempat ditiadakan, tapi satu bulan yang lalu rubrik tersebut ada lagi. Begitu mengetahui kabar tersebut saya langsung cek email dan melihat cerma apa saja yang pernah saya kirim ke Minggu Pagi. Akhirnya saya memutuskan merevisi satu naskah. Naskah tersebut berjudul "Di bawah Ketiak Mama" Saya revisi naskah tersebut dari judul, alur, nama tokoh hingga akhir cerita. Selesai merevisi, saya kirim ke media yang sama. Alhamdulillah, Kamis, 13 Agustus 2020, naskah saya berjudul "Kebebasan yang Terenggut" dimuat di harian Minggu Pagi.
Selamat membaca!
KEBEBASAN YANG TERENGGUT
Oleh : Yeni Endah
Tak ada yang berubah sejak sebulan yang lalu saat Nayla menjadi siswi baru di SMA Tunas Bangsa yaitu tentang keberadaan mamanya yang selalu mengikuti kemanapun ia pergi. Jika teman-teman seusianya bisa berangkat dan pulang bersama teman-temannya, lalu nongkrong jika sekolah pulang lebih awal, tapi Nayla masih diantar dan dijemput. Mama Nayla juga selalu ikut saat belajar kelompok, bahkan ketika hangout di kafe. Sontak hal ini menimbulkan protes dari teman- teman Nayla.
“Nay, kamu kayak anak TK aja. Kemana-mana dibuntuti mamamu. Anak TK aja nggak separah ini juga kali,” celetuk Dinda.
“Iya nih, kalau mamamu selalu ikut, kita jadi nggak punya privasi. Mungkin kalau cuma ikut aja nggak terlalu masalah. Tapi mamamu juga selalu ikut campur urusan kita Nay. Urusan anak muda,” protes Kirana.
***
Acara pentas seni di sekolah tahun ini, Nayla ditunjuk sebagai MC oleh Bu Ina. Bukan tanpa sebab Bu Ina memilih Nayla menjadi MC. Bu Ina ingin agar gadis yang selalu diam di dalam kelas itu lebih komunikatif, kooperatif dan berbaur dengan murid-murid lainnya.
“Mama Nayla kayak polisi Bu. Sukanya intrograsi kalau kita mau pergi.”
“Nggak nyaman Bu, kalau pergi sama Nayla. Belum aja pergi udah tapi udah dipesan buat jangan pulang lewat jam 9 malam.”
“Kalau pergi sama Nayla, mamanya suka telpon terus. Mungkin lima menit sekali.”
Alasan beberapa murid, merasa enggan dan tak nyaman berteman dengan Nayla. Hanya Ellen, teman sebangku Nayla yang akrab dengannya.
***
Mic Nayla mendadak mati saat ia akan membuka acara pentas seni. Otomatis suaranya tidak terdengar oleh penonton. Dari kejauhan Ellen bisa menangkap raut wajah gugup Nayla. Dengan sigap, Ellen naik ke panggung dan mengambil alih MIC dan menggendalikan suasana.
Baca juga : Syarat Kirim Cerma (Cerita Remaja) ke Minggu Pagi
“Kok bisa mic-nya mati? Apa tadi tidak di-cek dulu. Kamu buat mama malu saja!” Ellen tak sengaja mendengar percakapan Nayla dan mamanya di belakang panggung. Ia hanya tertunduk dan embun di pelupuk matanya mulai membasahi pipi. Ellen mendekati Nayla saat mamanya sudah meninggalkannya seorang diri.
“Nggak usah dipikirin ya kejadian di atas panggung tadi. Mic mati adalah kesalahan teknis yang bisa dialami siapa saja.” Ellen mencoba menghibur dan menenangkan Nayla lalu memberinya sebotol air mineral.
“Padahal sebelum naik panggung sudah di-cek dan semua baik-baik saja, Len.”
“Nay, saat di atas panggung, apapun bisa terjadi. Jadi saat menerima amanah jadi MC, kamu harus siap dengan kondisi apapun.”
“Tapi Len, aku sudah membuat semua orang kecewa terutama mama.”
“Masih ada kesempatan kedua. Dan kamu bisa memperbaikinya saat kesempatan itu datang.”
Sejak saat itu hubungan Ellen dan Nayla semakin dekat. Semakin banyak kegiatan yang Ellen lalui bersama Nayla membuatnya semakin tahu karakter mama Nayla. Termasuk tipe orang tua otoriter. Banyak aturan dan standar tinggi yang diterapkan untuk mengontrol sikap putrinya itu. Nayla harus mengikuti peraturan yang telah dibuat dan tidak boleh melakukan kesalahan. Di usianya yang sudah 17 tahun, Nayla belum bisa membuat keputusan sendiri untuk hidupnya. Ellen jadi tahu kenapa Nayla menjadi pribadi yang pemalu dan sulit bersosialisasi. Ia tumbuh menjadi anak yang berada di bawah ketiak mamanya. Sama sekali tidak diberi hak untuk membuat keputusan, bahkan untuk dirinya sendiri. Tidak diberi ruang untuk berekspresi, berkembang sesuai bakat dan minat Nayla.
Saat berkumpul bersama teman-temannya, Ellen bisa melihat dengan jelas raut muka Nayla yang tanpa beban. Ia tampak senang dan gembira saat berada di luar ketimbang di dalam rumah. Ekspresi yang ia tampilkan berbanding terbalik. Di depan mamanya terlihat murung sementara di depan temannya terlihat gembira dan begitu lepas.
***
“Kita ini sudah beranjak dewasa Nay. Kita harus memiliki kebebasan. Kebebasan berpendapat, kebebasan untuk menentukan jati diri, kebebasan untuk melakukan apa yang kita suka. Sampai kapan kamu mau jadi seperti burung dalam sangkar. Tidak memiliki kebebasan. Apa kamu mau terus-terusan diatur mamamu.” Nayla terngiang nasehat yang selalu sahabatnya ucapkan.
Untuk Mama,
Ma, Nay bukan anak kecil lagi yang harus selalu diawasi gerak-geriknya. Kenapa yang Nay lakukan selalu salah di mata mama? Nay udah nggak betah di rumah. Di rumah, rasanya udah kayak di neraka. Nay pergi dari rumah ini Ma. Nay mau bebas.
Nayla menulis surat pada secarik kertas. Dipandanginya bingkai foto dirinya bersama mama— yang terletak di meja belajar, tempat dimana ia ingin meletakkan surat untuk Mama.
“Mama melakukan itu sebagai tanda cinta. Mengawasiku dengan ketat. Melarang ini dan itu hingga selalu menempel kemanapun aku pergi adalah bentuk perlindungan seorang ibu,” ucap Nayla lirih lalu merobek surat yang ia tulis.
Nayla mengorbankan kebebasannya terenggut. Ia tak sampai hati jika harus membangkang. Sejak papa meninggal, hanya Nayla keluarga yang mama miliki.
“Jika aku pergi, siapa yang akan menemani mama di hari tuanya?”
SELESAI