Cerma atau Cerita Remaja berjudul Menembus Batas adalah cerma pertama saya yang dimuat di harian Minggu Pagi, Jumat 2 Desember tulisan pertama saya dimuat di Minggu Pagi di rubrik Cerma. Waktu tahu dimuat saya bener-bener nggak nyangka. Ya soalnya waktu kirim tulisan itu ke media nothing to lose aja. Ceritanya begini tulisan saya yang berjudul Menembus Batas Dalam Keterbatasan sudah lama mengendap dalam folder naskah di laptop, nah waktu ada Event kepenulisan saya ikutsertakan tapi sayangnya tulisan itu belum lolos ya mungkin belum berjodoh. Kemudian saya edit lagi kira-kira sudah baik menurut versi saya. Dipikir-pikir daripada di laptop dan cuma saya yang baca akhirnya saya putuskan untuk kirim ke media, tapi saya bingung mau kirim ke mana? Ok, akhirnya fix saya kirim ke Minggu pagi, 22 November 2016 dan dimuat Jumat 2 Desember 2016. Lumayan cepat ya!
Waktu baca postingan Pak Sulistiyo Suparno di grup Satra Koran Majalah ada seorang berkomentar Cerma Minggu Pagi, Yeni Endah-Menembus Batas. Waktu baca itu, lha kok itu nama saya dan kayak judul Cerpen saya ya? Untuk memastikan bahwa itu benar-benar karya saya, akhirnya saya bertanya pada Pak Sutono dan kemudian saya teringat seorang temanpun karyanya juga dimuat di Koran yang sama dengan saya pada hari Jumat. Saya konfirmasi sama Mbak Arum Eh … bener lho itu karya saya, rasanya luar biasa senang …
Kali ini saya mau share tulisan saya yang berjudul Menembus Batas Dalam Keterbatasan tapi kemudian di-edit judulnya menjadi Menembus Batas. Selain judulya yang mengalami tahap proses edit, ceritanya pun di-edit tapi tidak menghilangkan ini dari cerita yang saya tulis.
Selamat Membaca!
MENEMBUS BATAS DALAM KETERBATASAN
Oleh : Yeni Endah
Terlahir sempurna seperti bayi pada umumnya namun Allah mengubah takdir hidupku ketika usiaku tiga tahun. Akibat demam tinggi yang kualami pada saat itu hingga menyebabkan kelumpuhan pada kedua kakiku. Begitu cerita Emak padaku suatu hari. Aku tidak tahu persis jenis disabilitas apa yang kumiliki. Jika ada orang yang bertanya kenapa aku seperti ini, duduk di kursi roda. Aku selalu menjawab,
“Aku difabel karena polio.”
Perekonomian keluarga yang sederhana, membuat Emak tak bisa melakukan pengobatan yang intensif di rumah sakit. Hanya pengobatan ala kadarnya.
***
Meski difabel, tidak ada sama sekali perasaan minder pada diriku. Orang bilang, itu karena ketika aku mengalami kelumpuhan aku masih bocah jadi tidak tahu apa-apa tentang kondisi yang sesungguhnya. Tapi toh perkataan mereka terbantahkan sudah dengan kenyataan yang ada. Diusiaku yang ke-20 tahun, aku masih tetap pede jika berbaur dengan orang-orang yang berfisik normal. Meskipun tak jarang pula aku jumpai beberapa diantara mereka memandang rendah diriku karena kecacatan yang kumiliki. Bahkan teman sekampung terkadang suka mengguyoniku dengan berkata,
“ Wis gedhe kok isih mbrangkang wae to Le?”
Kubalas guyonan itu dengan senyuman karena sudah paham betul dengan tabiat teman-teman. Memang terdengar kasar bagi yang pertama mendengar atau yang belum mengenal mereka. Disadari atau tidak guyonan itu ada sebab diriku sendiri. Karena jika tidak sedang meggunakan kursi roda aku memang lebih senang mbrangkang atau merangkak dengan bertumpu pada kedua tangan. Membuatku lebih leluasa dalam bergerak karena memang banyak fasilitas umum di negeri ini yang tidak akses untukku ataupun untuk teman-teman difabel lainnya
Seiring berjalannya waktu, bertambah umur, dan matang pula cara berpikir yang aku miliki. Sebagai seorang anak aku belumlah merasa berarti untuk Emak. Aku ingin mandiri, agar tidak merepotkan Emak. Paling tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupku sendiri yaitu dengan bekerja. Tetapi ditengah ketebatasan fisik yang kumiliki pasti tidak akan mudah mendapatkan sebuah pekerjaan apalagi ijazah Sekolah Dasar pun tak ada. Aku hanya mampu menempuh pendidikan hingga kelas 3SD.
“Bukankan ada orang yang tidak mengenyam bangku sekolah namun bisa sukses. Selama ada niat serta usaha Gusti Allah akan menunjukkan jalan-Nya,” gumamku dalam hati dalam hati penuh keyakinan.
Baca juga : 7 Hal yang Wajib Diperhatikan Sebelum Mengirim Tulisan ke Media Massa
Emak memang tidak pernah mempermasalahkannya, meski aku menganggur toh Emak masih bisa mencukupi kebutuhan keluarga dengan menjajakan gorengan dan memasak untuk tetangga kanan kiri. Bahkan jika masih ada sisa tenaga menjadi buruh cuci pun ia lakukan pada sore hari. Ya , meski begitu sebagai seorang anak, aku ingin berbuat sesuatu agar Emak bahagia dan bangga. Aku juga tak tega bekerja begitu keras. Sementara tubuhnya semakin ringkih.
***
Minggu pagi, sekitar pukul delapan. Deni, teman satu organisasi disabilitasku mengajakku ke Mojokerto untuk bertemu Cak Huda atau yang lebih tenar dengan panggilan Cak Huda kapal alias Cak Huda kaki palsu. Sebenarnya aku malas untuk pergi tapi daripada nganggur di rumah, dan lagipula pekerjaan rumah pun sudah beres. Jadi aku iyakan ajakan Deni.
***
Pertemuan pertama dengan Cak Huda, aku sudah menaruh rasa kagum serta hormat. Bagaimana tidak? Di tengah keterbatasan yang Cak Huda miliki namun ia bisa berdaya guna untuk orang lain, membuka lapangan pekerjaan sendiri yaitu dengan membuka usaha sablon. Pekerjanya yang berjumlah sepuluh orang hanya tiga yang berfisik normal sedangkan sisanya adalah para difabel yang terdiri dari tuna rungu, tuna wicara dan difabel tuna daksa menggunakan alat bantu atau pun tidak. Cak Huda memang sengaja memberdayagunakan teman sesama difabel karena Cak Huda menyadari jika para difabel juga memiliki potensi serta kemampuan yang sama asal diberi kesempatan.
Deni dan Cak Huda asyik mengobrol, sementara aku lebih tertarik dan sibuk memperhatikan para pekerja yang sedang menyablon spanduk. Setiap hal detail yang mereka lakukan kuperhatikan dengan baik. Teknik dan prosesnya. Aku hanya sesekali merespon dan menjawab seperlunya jika Deni ataupun Cak Huda memberi pertanyaan. Telingaku mendengarkan tetapi mataku tetap fokus pada usaha sablon Cak Huda yang menyatu dengan rumahnya.
***
Meski sudah tiga hari berlalu rasa kagumku pada Cak Huda masih ada. Bahkan membuatku makin penasaran karena masih begitu banyak hal yang ingin aku ketahui. Akupun bermaksud untuk kembali lagi menemui beliau. Aku berpikir keras bagaimana caranya untuk mendapatkan izin dari Emak. Pasti tidak akan mudah. Sebab selama ini aku tidak pernah pergi sendiri apalagi keluar wilayah Kediri.
“Mak, besok aku mau ke Mojokerto ya, ke rumah Cak Huda, ” pintaku pada Emak.
“Siapa Cak Huda, Le?”
Aku jelaskan pada Emak tentang Cak Huda, dan apa yang kulihat di sana serta alasannya kenapa aku ingin sekali kembali ke Mojokerto. Ya, seperti yang sudah kuduga, setelah menunggu dalam ketidakpastian selama hampir 2 jam, akhirnya izin pun keluar dari bibir Emak.
***
Keesokan paginya, pukul tujuh pagi aku berangkat ke Mojokerto. Pergi dengan restu dari Emak. Perjalanan yang kutempuh selama dua jam tidak sebanding dengan pengalaman yang akan kudapat di sana nantinya. Doa pun tak henti kuucapkan agar Allah menurunkan restunya.
Sesampai di rumah Cak Huda, aku tak menyia-yiakan kesempatan yang ada. Banyak hal yang kupelajari tentang teknik-tenik dasar menyablon, Cak Huda pun tak pelit ilmu, dengan ramah ia menjelaskan. Dua kali dalam seminggu aku rutin mengunjungi Cak Huda dan ini sudah berlangsung selama satu bulan
***
“Apa awakmu gelem dadi kernetku Le?” Cak Huda menawariku menjadi asistennya.
“Seruis tah Cak,” Aku tak percaya dengan apa yang baru kudengar.
“Iya,” jawab Cak Huda singkat sambil membereskan pesanan kaos.
“Maturnuwun nggih Cak,”
“Mulai besok kamu dah bisa jadi kernetku, jam delapan dah siap di sini ya!”
“Siap Cak.”
***
Hari yang kutunggu-tunggu pun tiba, hari di mana akan adanya sebuah kehidupan baru untukku juga Emak. Kehidupan yang lebih baik tentunya.
Sebagai kernet atau asisten, tugasku hanyalah membantu dan melaksanakan apa yang Cak Huda perintahkan. Tak banyak hal yang bisa kulakukan pada mulanya karena memang masih banyak hal yang perlu aku pelajari. Untuk menambah pengetahuan dan pengalaman, tak segan Cak Huda mengajakku mengikuti pelatihan usaha mandiri ataupun mengikuti pameran serta bazar.
***
Tiga tahun telah berlalu, berbekal ilmu yang aku peroleh dari Cak Huda, telah ku mantabkan hati untuk mandiri dengan membuka usaha sendiri. Gaji yang aku peroleh sudah cukup sebagai modal awal membuka usaha sablon.
Gayung pun bersambut, Cak Huda senang sekali akan niatku ini dan sebagai bentuk dukungan, Cak Huda menghibahkan screen sablon, rakel, dan juga meja sablon. Awalnya aku tolak pemberiannya, sebab tak enak hati. Sudah banyak ilmu yang aku peroleh dari beliau, sudah banyak kebaikan yang ia berikan padaku.
***
Dengan berbekal perlengkapan sablon hibah dari Cak Huda dan beberapa alat lainnya yang kubeli sendiri. Aku buka usaha sablonku. Seperti yang pernah Cak Huda nasihatkan padaku, memang tidak mudah untuk memulai sesuatu, usaha sablonku tak berjalan mulus seperti yang aku bayangkan. Sepi. Tapi ini tidak membuatku kehilangan akal. Aku mempromosikan usaha sablonku melalui social media yang kumiliki. Setiap sabtu dan minggu aku memasarkan hasil sablonku di sekitar Area Simpang Lima Gumul. Hingga akhirnya usaha sablonku mulai diketahui orang-orang melaui mulut ke mulut. Para costumer yang puas dengan hasil kerjaku pun turut andil mempromosikannya.
Semakin hari, pelangganku pun semakin bertambah. Dari yang ingin mencetak undangan, membuat banner dan yang lainnya. Terkadang ada pelanggan yang hanya menyablon satu baju pun aku sanggupi. Bukankah pembeli adalah Raja.
Kerugian juga pernah kualami, jika ada pelanggan yang mengambil barang pesanan lebih dahulu dan akan melunasi pembayaran setelah itu tapi pada kenyatannya orang tersebut malah kabur. Tapi itu sama sekali tak membuatku menyerah dan tak terlalu memikirkan hal tersebut karena teringat nasihat Emak.
“Rezeki yang ngatur Gusti Allah, Le. Ndak perlu khawatir karena rezekimu ndak bakalan tertukar dengan orang lain. Dan jangan pernah takut untuk berbagi atau memberi pada orang lain karena itu ndak akan membuatmu miskin.”
Kini aku bukan hanya bisa mencukupi kebutuhanku sendiri tapi juga bisa berbagi dengan orang lain. Bisa membelikan apa yang Emak butuhkan dan inginkan.
Ada satu pinta yang tak henti aku rapalkan dalam setiap doa. Aku ingin memberdayakan teman-teman sesama difabel untuk menembus batas dalam keterbatasan seperti yang telah aku lakukan. Agar para difabel tidak menggantungkan hidup mereka pada orang lain. Keterbatasan yang Allah berikan bukanlah alasan untuk menyesali takdir. Tapi justru harus bisa berarti serta berbagi untuk orang lain. Karena toh setiap manusia diciptakan oleh-Nya memiliki hak derajat yang sama. Hanya keimanan seseorang yang membedakannya.
SELESAI