Bagi sebagian orang, menulis dianggap suatu hal yang sulit. Sebenarnya tidak begitu. Tanpa disadari, setiap hari kita juga sudah menulis dari menulis pesan, status Facebook dan story WhatssApp ataupun yang lainnya.
Menulis itu tidak perlu bakat. Menulis adalah keterampilan yang bisa dilatih dan dikembangkan oleh siapa saja tanpa mengenal batas. Menulis bisa dimulai dengan cara free writing. Menulislah apa yang ada di pikiran kita, apa yang kita dengar dan apa yang kita rasakan. Menulis dianggap sulit karena itu jarang sekali orang yang menjadikan menulis sebagai passion.
Sebagai difabel karena kelainan langka Friedreich's Ataxia saya sudah menyukai menulis sejak kecil. Dimulai menulis dari diary dan blog. Saya mulai menekuni dan mempelajari dunia literasi lebih dalam pada tahun 2015 dengan belajar melalui komunitas menulis online.
Saat Komunitas Sahabat Difabel mengadakan pelatihan jurnalistik di akhir tahun 2017 saya menyambut dengan gembira. Itu artinya saya bisa belajar secara langsung atau face to face. Awalnya pelatihan jurnalistik yang diadakan Komunitas Sahabat Difabel di Roemah Difabel dengan pembicara Mas Ari Chepi Pimpinan Redaksi asatu.id menjelaskan tentang teknik dasar menulis yaitu 1H dan 5 W yang terdiri dari How, What, Why, Who, When dan Where.
Tidak hanya menerangkan tentang teknik dasar menulis tapi juga teknik wawancara. Untuk membuat sebuah berita teknik dasarnya adalah 1H dan 5W, serta membuat sebuah liputan harus jelas, komplit dan berdasarkan fakta di lapangan. Kalau kita membuat berita tanpa adanya data-data yang akurat itu namanya jurnalistik ludah. Wah itu kali pertama saya belajar tentang cara menulis berita, karena biasanya saya menulis cerita fiksi.
Untuk mempraktekkan apa yang sudah saya pelajari, Mas Ari memberi kesempatan untuk berkontribusi menjadi jurnalis. Dan beberapa hasil liputan saya sudah dimuat di Asatu. Untuk bisa lolos dan dimuat tentu saja tulisan harus dikurasi dulu, setelah dinyatakan layak baru di-publish.
Bukankah jika ada difabel yang menjadi jurnalis, bisa mengubah mindset masyarakat yang selama ini menganggap difabel tidak bisa apa-apa. Dalam era sekarang ini ruang dan kesempatan terbuka lebar buat siapa aja yang mampu dan mau untuk menjadi seorang jurnalis. Atau sedikit membuka wawasan masyarakat non difabel jika difabel itu hanya bisa mengerjakan hal yang berhubungan dengan jahit menjahit dan menyulam.
Pelatihan menulis yang mulanya diisi oleh Mas Ari kemudian digantikan oleh mbak Swita Amallia sebagai pemateri yang sudah terjun dalam dunia penulisan artikel selama 10 tahun di Jakarta dan sebagai Pemakalah Terbaik, The 5th Indonesia Media Research Awards & Summit (IMRAS) tahun 2019 dengan judul "Penyandang Disabilitas Menembus Batas Media Mainstream dalam kamibijak.com
Awal belajar jurnalistik bersama Mas Ari Chepi (Sumber Foto : Dokumentasi Pribadi)
Dalam penulisan kreatif dibagi menjadi dua bagian yaitu artikel online dan artikel konten kreatif. Jika menulis artikel berita teknik yang digunakan adalah 5W+1H yaitu What, When, Where, Who, Why dan How. Bahasa yang digunakan harus singkat, padat dan jelas serta akurasi data, sedangkan menulis artikel konten kreatif, bisa lebih bebas. Tidak terpaku pada teknik. Bisa saja kita hanya menggunakan salah satu dari teknik 5W+1H. Misalnya kita hanya memakai unsur Why-nya saja.
Pentingnya mengetahui perbedaan antara jenis penulisan konten kreatif dan penulisan artikel berita dengan kaidah jurnalistik. Bagi media, artikel wajib menggunakan rumus 5W dan 1H dan menggunakan data primer. Kebalikannya dengan konten kreatif yang tak mengindahkan rumus ini dan boleh menggunakan data sekunder dengan informasi yang dkumpulkan di internet.
Selain menggambarkan bagaimana proses penulisan kreatif, bekal penulisan artikel berita dengan kaidah jurnalistik pun dikupas tuntas agar dapat membedakan masing-masing jenis penulisan dan gayanya. Sehingga artikel yang dibuat pun dapat tembus media yang hendak dituju.
Awalnya saya menulis hanya karena hobi dan sebagai healing terapi. Namun setelah saya mempelajari ternyata sekarang menulis bukan hanya sekedar hobi atau sarana untuk curhat, tapi jika serius menekuninya bisa memberikan materi. Ketrampilan menulis yang saya dapat baik dari pelatihan online ataupun offline, tidak hanya akan menambah keahlian tapi juga membuka peluang yang bisa ditangkap di dunia kreatif.
Belajar dari Mbak Swita mengenal proses penulisan kreatif di media daring. Banyaknya peluang yang tersedia untuk menggarap konten kreatif. Sementara cara yang dilakukan juga terhitung sederhana yaitu memanfaatkan teknologi dengan maksimal untuk mengkurasi berita lewat internet. Apalagi bagi saya yang mempunyai keterbatasan fisik dan mobilitas menjadi penulis lepas adalah pilihan yang tepat.
Teknologi memberikan kesempatan semua orang, termasuk saya untuk mengambil peran dan memanfaatkannya tanpa tebang pilih. Terlebih di dunia kreatif, menjamurnya media konten kreatif membutuhkan para penulis lepas untuk berkontribusi memberikan ide dalam bentuk tulisan. Bisa dilakukan oleh semua orang, siapapun yang berminat tanpa ada persyaratan. Maka peluang ini pun saya manfaatkan untuk menjadi content creator di Brilio link. Dan sudah satu tahun lebih saya bergabung di Brilio.
Belajar pelatihan penulisan kreatif bersama Jono (Australia), Kyeong Min (Korea) dan Mahasiswi (Sumber Foto : Dokumentasi Pribadi)
Untuk menjadi content creator di Brilio, mereka memberikan fee sebesar Rp.200.000, dipotong 3% bagi yang tidak mempunyai NPWP, dan 2% bagi yang mempunyai NPWP. Namun tidak semua tulisan yang di-publish di Brilio itu dapat fee ya. Hanya tulisan yang dipilih oleh pihak Brilio dan ditayangkan di homepage's Brilio, atau tulisan kita terpilih menjadi Top 10 Creator Brilio. Dari 100 lebih tulisan saya yang dimuat di Brilio, baru sekitar 10 tulisan saya yang berhasil nangkring di homepage's Brilio. Dan jika tulisan kita berhasil tayang di homepage's Brilio dan mendapat reward, kita akan menerima email pemberitahuan.
Jika ditanya apa kiat dan tips agar tulisan bisa dimuat di homepage's Brilio, sampai saat ini saya juga belum tahu. Yang pasti yang saya lakukan adalah terus menulis dan tidak terlalu memikirkan apakah tulisan saya akan menjadi Top 10 Creator Brilio, jika seperti itu nanti menulis akan menjadi sebuah beban. Jika rezeki tentu tidak akan tertukar. Ya intinya menulislah dari hati. Insya Allah rezeki akan mengikuti.
Menulis dari sekedar hobi yang kemudian bisa menghasilkan materi selain menjadi content creator di Brilio juga menjadi penulis lepas untuk dikirim ke media massa. Misalnya mengirim cernak ke NuBi (Nusantara Bertutur), Solopos juga media yang lainnya. Atau untuk mengasah dan mengetahui sebatas mana kemampuan kita dalam hal menulis juga bisa mengikuti lomba atau kompetisi.
Sejauh ini baru 3 lomba besar yang saya ikuti dan menjadi pemenang yaitu
1. Menulis Kabar Baik Good News From Indonesia, artikel saya berjudul Pathol-olahraga tradisional gulat dari pesisir pantai Jawa menjadi juara 2
2. Writing Contes Indonesia Rare Disorders "Aku dan kelainan langka” artikel saya berjudul Me versus My Rare Disease menjadi juara 1
3. Yang masih fresh adalah lomba yang diadakan oleh satu dunia., tulisan saya dengan judul Menuju Indonesia Inklusi dan Ramah Disabilitas.
Saat saya berpartisipasi mengikuti lomba menulis, bukan karena ikut-ikutan, tapi karena saya merasa mampu dan bisa akan menuliskannya dengan baik. Maka saran saya jika ingin mengikuti lomba besar jangan karena tergiur oleh hadiahnya saja, tetapi pelajari baik-baik syarat dan ketentuan lomba tersebut ya.
Jika teman-teman mempunyai passion menulis tekuni hingga mahir hingga suatu hari mendatangkan materi. Karena usaha tidak akan mengkhianati hasil. Belajar dengan orang yang tepat seperti saya belajar dengan mbak Swita. Saat proses belajar yang sangat fleksibel dan kaku seperti layaknya adik kakak atau seorang sahabat.