Dimuat di Minggu Pagi, 11 Mei 2018
Alhamdulillah cerma saya dimuat di Minggu Pagi, 11 Mei 2018. Cerma saya ini judul aslinya adalah Bangkitlah Anne tapi diubah menjadi Pencuri Naskah. Memang judul pengganti yang diberikan pihak Minggu Pagi lebih keren dan menarik daripada judul yang saya buat. Jadi saya harus latihan buat judul yang menarik.
Terima kasih Mas Heru Prasetyo untuk info pemuatannya.
Terima kasih Minggu Pagi yang sudah memuat cerma saya.
Selamat membaca cerma karya saya (naskah asli) sebelum diedit oleh pihak Minggu Pagi.
BANGKITLAH ANNE
Oleh : Yeni Endah
Minggu adalah hari yang kutunggu-tunggu. Hari penulis itulah yang sering diungkapkan teman-temanku sesama pecinta dunia literasi. Di hari itu seorang penulis senior, Pak Bambang selalu update karya-karya yang dimuat di media cetak ataupun darling di grup kesastraan.
“Huh, tidak ada namaku. Lagi-lagi yang dimuat karya orang-orang itu terus,” dengusku kesal.
Aku suka menulis sejak duduk dibangku SMP. Diary dan blog adalah media curhatku. Tapi setahun yang lalu, aku mulai serius belajar menulis yang baik dan benar dari Kak Wita. Teman dunia maya, yang kini menjadi sahabat di dunia nyata dan guru menulisku.
Awalnya aku belajar menulis dengan Kak Wita melalui WhatssApp selama satu bulan. Lalu setelah sebulan, kami merencanakan untuk bertemu. Dan dari perjumpaan itu disepakati hari Sabtu sore, aku bisa belajar menulis ke rumah Kak Wita setelah pulang sekolah.
Aku begitu senang bisa bertemu dengan Kak Wita yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Terkadang Kak Wita menjemputku di sekolah untuk pergi ke rumahnya.
“Apa tujuanmu menulis Jen,” tanya Kak Wita suatu hari.
“Aku hanya ingin mencurahkan apa yang ada di pikiranku Kak. Apa yang kulihat, kudengar dan kurasakan.”
“Hmmm ... Sesederhana itu Jen.”
Aku mengangguk, “Aku ingin mengeskspresikan jiwaku melalui tulisan, Kak. Bukankah menulis adalah cara berbicara tanpa perlu repot-repot kita harus mencari pendengarnya.”
***
“Jen, mau ke mana?” Anne menepuk pundakku saat aku terburu-buru keluar kelas.
“Mau ke rumah kak Wita.”
“Siapa dia?”
“Guru menulisku.”
“Cie ... Sekarang yang udah punya guru menulis.”
“Iya Ne. Alhamdulillah.”
“Boleh ikut. Aku pengen belajar nulis. Mumpung hari ini aku kosong.”
“Tentu, boleh. Ayo ...”
Dengan mengendarai bus, aku dan Anne pergi ke rumah kak Wita. Yang berjarak lebih kurang 30 menit dari sekolah.
***
Sesampai di rumah Kak Wita, aku memperkenalkan Anne, sahabatku sejak SMP pada Kak Wita yang sedang menata meja untuk kami belajar di ruang tengah.
“Wah senang sekali, ada teman baru yang juga menyukai dunia literasi. Pasti suasana belajarnya makin seru nih,” Kak Wita menjulurkan tangan ke Anne.
“Terima kasih kak Wita. Tapi aku baru kali pertama ini ikut pelatihan menulis. Aku seringnya nulis di sosmed, Kak.” Anne terkekeh. Tidak seperti sahabatku ini yang sudah mencintai dunia literasi sejak SMP. Dan sering ikut kursus menulis setiap ada kesempatan.” Anne melirikku yang sedang mengeluarkan laptop dari dalam tas.
Hampir setengah jam, kami mengobrol sebelum memulai belajar menulis. Tahap perkenalan. Hal ini juga kak Wita lakukan saat aku pertama kali belajar menulis.
***
Aku sangat menyukai gaya mengajar Kak Wita. Meski sudah berpengalaman di dunia literasi. Menjadi editor di sebuah penerbit mayor dan tabloid. Kak Wita tak pelit ilmu. Di pertemuan pertama, Kak Wita memberikan teori menulis dan memberikan PR. Di pertemuan selanjutnya PR itu dikoreksi dan mendapat masukan dari Kak Wita.
“Jenni, naskahmu masih terlalu datar, belum ada konflik. Coba kamu bumbui dengan konflik dan karakter si tokoh lebih dipertegas. Pasti lebih Ok,” saran Kak Wita untuk naskahku bergenre teenlite. Sebaiknya bagian ini diperbaiki, alurnya masih antiklimaks," tambah Kak Wita.
***
Sudah dua minggu, aku dan Anne belajar menulis bersama Kak Wita. Namun ada hal mengganggu pikiranku. Sebelum berangkat sekolah, aku membuka facebook. Dan di timeline aku menemukan tulisan Anne yang banjir pujian dan komentar.
“Wah keren banget ceritanya.”
“Aku sampai nangis lho An bacanya.”
“Luar biasa. Aku seperti mengalaminya sendiri.”
Beberapa komentar yang sempat kubaca pada postingan Anne. Akupun tergelitik untuk membacanya. Dengan teliti aku membaca kata demi kata. Paragraf demi paragraf hingga tuntas. Aku menelan ludah setiap sampai membaca di akhir kalimat.
“Sepertinya aku pernah membaca tulisan ini. Tapi di mana ya? Aku mencoba mengingat. Jariku lalu mengetikkan beberapa kalimat di mesin pencarian google.
“Persis sekali.”
***
Hari Sabtu telah tiba, seperti biasa aku dan Anne pergi ke rumah Kak Wita setelah pulang sekolah. Peluh menetes di dahiku. Pikiranku tak karuan. Hatiku bimbang.
“Kak Wita aku mau ngomong sesuatu.” Aku mulai membuka suara. Mataku menyapu ke sekeliling. Hanya ada kami berdua.
“Silakan, Jen. Ada apa?” Kak Wita menghampiri dan duduk di sebelahku.
“Kak gimana kalau aku menemukan sebuah tulisan. Dan ....” kata-kataku terpotong saat Anne melangkah mendekati kami.
“Kalian lagi ngobrolin apaan sih?” tanya Anne penasaran.
“Ini lho katanya Jenni mau ngomong sesuatu ke kakak. Ayo Jen, lanjutkan.” Kak Wita menatap lekat ke arahku.
“Haduh, maaf aku lupa mau ngomong apa tadi ke Kak Wita.” Aku berusaha menutupi kekikukan dengan memainkan ujung kukuku.
***
Anne selalu mendapat pujian dari Kak Wita untuk setiap tugas yang ia kerjakan. Nilai yang ia dapat pun lebih tinggi dariku. Di satu sisi aku kesal karena Anne sudah membohongi Kak Wita. Mengatakan karya orang lain sebagai karyanya sendiri. Namun di sisi lainnya, aku tak sampai hati untuk mengungkapkan kebenaran yang ada. Aku tidak sanggup membayangkan ganjaran apa yang akan ia terima jika kecurangannnya itu sampai diketahui oleh orang lain.
***
Suasana kelas begitu ramai, saat aku baru sampai. Semua teman bergerombol mengerubungi Anne.
“Ada apa?” tanyaku penasaran pada Lita.
“Wah, masa kamu sahabatnya nggak tahu sih Jen?” Aku menggeleng.
“Anne juara lomba 1 lomba menulis tingkat Provinsi. Dan dia berhasil mengeser juara bertahan selama 3 tahun berturut-turut,” jelas Lita antusias.
Ada yang berdesir di aliran darahku. Sekuat tenaga kucoba berdiri menghampiri Anne.
“Selamat ya An.”
“Terima kasih Jen.” Anne memelukku erat.
“Semoga tulisanmu yang menjadi juara 1 adalah benar-benar karya aslimu. Bukan milik orang lain,” harapku dalam hati.
Setelah pengumuman itu, selama seminggu seantero sekolah terus membicarakan kehebatan Anne. Namun sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan terjatuh juga. Itu pula yang terjadi pada Anne.
Aku tidak tahu bagaimana persisnya, semua kasus plagiasi yang dilakukan Anne bisa terbongkar. Plagiator, penipu dan pencuri kata-kata adalah kata-kata hujatan yang dilontarkan teman-teman pada Anne.
Sejak terungkapnya kasus plagiasi yang dilakukan Anne, hanya sepucuk surat yang ia tinggalkan untukku.
Dear Jenni,
Jen, maaf untuk semua kesalahan yang telah kulakukan padamu juga pada teman-teman. Sebenarnya aku tidak bermaksud membohongi kalian. Aku terpaksa. Mama dan papa selalu menbandingkanku dengan kakakku, Ronald, mahasiswa kedokteran yang memiliki segudang prestasi. Orang tuaku ingin aku seperti dia. Tanpa sengaja, aku menemukan sebuah tulisan lama yang menggambarkan isi hatiku. Kemudian aku meng-copas tulisan itu dan kujadikan status di facebook. Tak kusangka apa yang kulakukan itu mendapat respon luar biasa. Mengapa tidak kujadikan itu sebagai cara agar aku bisa meraih prestasi dan orang tuaku tak lagi membanding-bandingkanku dengan Kak Ronald. Satu kali tak ketahuan, aku jadi kecanduan untuk terus melakukannya. Mengakui karya orang lain sebagai tulisanku. Sekali lagi aku minta maaf dan aku pamit.
Sahabatmu, Anne Octaviani.
“Selamat tinggal An, semoga kamu baik-baik saja. Dan bangkitlah menjadi Anne yang baru. Anne yang berprestasi dengan karyamu sendiri.”
SELESAI