Seperti yang kita tahu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain itu susah. Baik hubungan pertemanan, percintaan hingga pernikahan. Namun menjalin hubungan bagi seorang difabel itu lebih sulit. Apa itu benar?
Saya menjadi difabel saat usia saya 19 tahun, karena kelainan langka bernama Friedreich's Ataxia dan harus menggunakan kursi roda sejak saat itu. Ada banyak keresahan maupun kecemasan dalam hidup saya sejak menjadi difabel. Salah satunya adalah kehilangan teman-teman yang saya miliki selama ini. Banyak pertanyaan yang ada di pikiran saya saat itu. Apakah mereka masih mau berteman dengan saya? Atau mereka akan meninggalkan saya? Jika masih berteman, apakah mereka tulus? Atau hanya pura-pura dan kasihan saja.
Bisakah saya menjalin hubungan pertemanan dengan orang lain yang bisa menerima saya apa adanya? Dengan segala kekurangan yang saya miliki karena saya bukanlah saya yang dulu lagi. Kini ada kursi roda yang selalu menemani aktivitas saya sebagai alat bantu mobilitas. Kursi roda sebagai pengganti kaki saya.
Baca juga : Apakah Difabel Berhak Jatuh Cinta dan Bagaimana Cara Mengatasinya?
Saya pernah berada di fase denial dengan kondisi saya yang menjadi difabel. Saya juga sempat mengurung diri di kamar, tidak mau bertemu dengan teman yang menemui saya saat itu. Apalagi keluar rumah untuk berbaur dengan tetangga dan masyarakat sekitar. Namun Ibu saya selalu mendorong saya untuk membuka diri dan berbaur dengan orang lain. Tak perlu malu dengan kondisi saya. Begitu juga dengan teman-teman saya yang terus menyemangati. Meski saya menolak untuk ditemui, tapi mereka selalu datang. Ya, mereka tidak meninggalkan saya.
“Kita tetap bisa berteman. Kamu yang dulu sama yang sekarang masih sama. Yang membedakan sekarang kamu pakai kursi roda. Kamu nggak usah khawatir, aku bakalan jadi kaki kamu. Aku akan dorong kursi roda kamu kemanapun kamu mau pergi,” ucap seorang teman saat berkunjung ke rumah.
Saya pikir perkataannya hanya sekedar ucapan belaka. Penghibur, agar saya tidak sedih. Nyatanya, teman saya membuktikan hal tersebut.
Di tahun 2014, beberapa hari setelah lebaran teman-teman SMP saya mengajak pergi. Lebih tepatnya, pergi ke rumah salah satu teman untuk “reuni kecil”. Awalnya saya tidak mau ikut karena takut merepotkan. Selain itu saya juga takut jika teman-teman saya akan malu jika pergi bersama saya. Namun teman-teman membujuk saya, apalagi ibu sudah mengizinkan. Jujur ada perasaan canggung, karena saat itu adalah moment pertama kali saya pergi bersama teman-teman setelah menjadi difabel. Namun, lama-kelamaan suasana tersebut menjadi seru. Saya yang tadinya berpikir akan ditinggalkan teman-teman dan kesulitan menjalin pertemanan. Nyatanya setelah dijalani, baik-baik saja kok. Kuncinya adalah saling menghargai satu sama lain dan tahu berinteraksi dengan difabel.
Teman-teman saya tidak pernah bertanya kenapa dan apa penyebab saya menjadi difabel. Meski sudah berteman dengan saya sejak sekolah (SMP), dan mereka sudah tahu jika saya istimewa dengan bentuk kaki saya yang higharchies, tapi mereka tidak bertanya lebih dalam. Ketika saya menjadi difabel, mereka juga tidak bertanya, apa yang menyebabkan saya harus memakai kursi roda. Mereka menunggu saya bercerita terlebih dahulu ketika saya sudah bisa “berdamai dengan diri sendiri”.
Jika ingin membantu, teman saya selalu bertanya lebih dulu. Apa saya butuh bantuan? Jika iya, bantuan apa yang saya butuhkan dan bagaimana cara membantunya? Tindakan ini membuat saya merasa dihargai dan tidak membuat saya merasa menjadi manusia yang lemah dan membutuhkan bantuan setiap saat. Saya hanya memerlukan bantuan orang lain jika saya benar-benar membutuhkannya. Sebelum meminta tolong, saya akan berusaha lebih dahulu untuk melakukannya sendiri, baru ketika mengalami kesulitan, saya akan minta bantuan. Saat berbicara, teman-teman saya selalu menyejajarkan mata mereka. Dengan begitu saya yang duduk di kursi roda tidak perlu mendongak.
Ya, Tuhan menguji hamba-Nya dengan keresahan-keresahan. Ketika saya sudah sanggup melewati fase tentang keresahan akan sulitnya menjalin pertemanan setelah saya menjadi difabel. Saya merasakan kecemasan lainnya yaitu tentang hubungan percintaan yang akan saya jalani hingga nanti menuju tahapan pernikahan.
Difabel juga memiliki perasaan untuk dicintai dan mencintai. Banyaknya stigma negatif atau mitos-mitos romansa yang keliru di masyarakat bisa menghambat difabel dalam menjalin hubungan asmara.
Saya mempunyai keresahan mengenai hubungan percintaan difabel, yang nantinya (mungkin) akan saya alami. Apakah saya hanya bisa berpasangan dengan non difabel? Jika berpasangan dengan sesama difabel bagaimana nanti saya akan menjalani hubungan jika sampai ke jenjang pernikahan? Apalagi jika memiliki jenis disabilitas yang sama. Bagaimana caranya kami akan menjaga satu sama lain.
Lalu, jika saya berpasangan dengan non difabel, apakah keluarga merestui jika anaknya memiliki pasangan yang difabel. Tidak dipungkiri masih banyak keluarga yang takut jika anaknya mempunyai pasangan difabel. Jika menikah, keturunannya akan menjadi difabel juga.
Atau mempunyai menantu difabel adalah sebuah beban, karena tidak bisa mengurus diri sendiri. Sebagai difabel saya memang tidak bisa mandiri secara fisik sepenuhnya. Namun, saya hanya membutuhkan bantuan dari orang lain di saat tertentu saja. Meski tak bisa mandiri secara fisik, bukankah saya bisa memberikan dukungan kepada pasangan saya nantinya berupa perhatian dan kasih sayang?
Memang tidak ada yang mudah dalam menjalani sebuah hubungan di dunia kan? Baik pertemanan atau percintaan baik untuk difabel maupun non difabel. Masing-masing pasti memiliki suka, duka, dan tantangannya tersendiri.
Untuk saat ini, saya bersyukur dengan hubungan pertemanan yang saya miliki baik dengan non difabel maupun difabel. Saya membuka jalinan pertemanan seluas-luasnya. Tentang hubungan percintaan atau bahkan pernikahan, seiring bertambahnya usia dan proses pendewasaan diri, hanya sesekali saya memikirkannya yaitu ketika teman terdekat memutuskan untuk menikah.