PENDIDIKAN INKLUSIF ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
August 21, 2023
Setiap Warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan termasuk difabel, sebagaimana diatur dalam UU No. 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Dalam pasal 10 UU No. 8 tahun 2016, hak pendidikan untuk penyandang disabilitas meliputi hak mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus, mempunyai kesamaan kesempatan untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan, mempunyai kesamaan kesempatan sebagai penyelenggara pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan, mendapatkan akmodasi yang layak sebagai peserta didik.
Namun pertanyaannya adalah apakah semua Warga Negara Indonesia sudah mendapatkan pendidikan yang layak atau pendidikan yang inklusif yang saat ini sedang banyak dikampayekan? Jangan-jangan inklusif hanya sekedar menjadi tagline semata. Padahal di tahun 2030, Indonesia menargetkan menjadi negara yang inklusif. Di kota Semarang tempat tinggal saya, sudah ada peraturan mengenai pendidikan inklusif yaitu Perwali Kota Semarang No.76 tahun 2020 dan Perda Provinsi Jateng No.4 tahun 2012. Di beberapa provinsi dan kota ataupun abupaten lainnya juga sudah menerbitkan perda, perwali dan perbup yang mengatur tentang pendidikan inklusif. Namun faktanya di lapangan, implementasinya masih jauh dari kenyataan.
Pendidikan Inklusif
Berbicara mengenai pendidikan inklusif bagi difabel memang cukup berat. Pertama, tidak semua orang paham apa arti kata inklusif, meskipun masyarakat sudah sering mendengarnya. Kedua, masyarakat juga masih belum familiar menggunakan kata difabel, penyandang disabilitas atau Anak Berkebutuhan Khusus. (ABK) dalam kehidupan sehari-hari. Mereka masih menyebutnya dengan istilah cacat. Padahal cacat itu lebih mengarah pada benda yang rusak. Sementara manusia adalah ciptaan Tuhan yang tak pernah gagal.
Baca juga : Bingung Memilih Sekolah untuk Anak Berkebutuhan Khusus? SLB? Sekolah Inklusi atau Home Schooling?
Saya sebagai sorang difabel karena kelainan langka Friedreich's Ataxia menempuh pendidikan di sekolah reguler (Non SLB). Selama sekolah, saya tidak pernah satu kalipun mendengar teman-teman sekolah, guru bahkan staff administrasi menggunakan kata “difabel”. Alih-alih menggunakan dua istilah tersebut, kata “cacat” lah yang sering saya dengar.
“Di sekolahku ada murid cacat lho,” ucap teman saya yang memberitahu temannya di sekolah yang berbeda.
“Ah, masa anak cacat bisa sekolah di sekolah umum. Bukannya anak cacat itu sekolahnya di SLB?” reaksi seseorang yang tidak percaya jika saya bisa menempuh pendidikan di sekolah umum/reguler. Saat mendengar kata “cacat” rasanya hati ini jadi sesak ya.
Perundungan Terhadap Difabel di Dunia Pendidikan
Minimnya informasi dan sosialisasi tentang difabel di masyarakat, mengakibatkan banyaknya teman-teman difabel mengalami perundungan atau bullying serta dipandang remeh oleh lingkungan sekitar. Perundungan yang dialami difabel dalam dunia pendidikan tidak hanya perilaku bullying yang melibatkan kontak fisik antara pelaku dan korban. Misalnya menendang, memukul, mencekik dan dan lainnya yang berhubungan dengan tindakan fisik. Namun juga bullying verbal yang bertujuan untuk menyakiti hati korban. Misalnya mengejek, memberi nama julukan yang tidak pantas untuk difabel. Saya pikir semua difabel pernah mengalami kasus bullying baik bullying secara fisik ataupun bullying secara verbal.
Dani Aditya, komika difabel pertama di Indonesia pun pernah mendapat perundungan. Dani mengungkapkan bahwa sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, ia telah mendapat perundungan mulai dari diludahi, didorong kursi rodanya dengan kasar, dihina, dimaki sehingga Dani mengalami keterpurukan mental hingga sempat terbesit keinginan untuk mengakhiri hidupnya. Kasus bullying yang dialami Dani adalah kasus bullying yang bisa diekspos masyarakat. Saya yakin masih banyak “Dani” lain yang mengalami kasus serupa, tapi tidak berani berbicara atau terpaksa membungkam mulutnya.
Implementasi Pendidikan Inklusif
Indonesia mulai mengupayakan pendidikan inklusi sejak dikeluarkannya Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 pada 20 Januari 2003 kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama sama dengan peserta didik pada umumnya. Ini artinya pendidikan inklusif memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anak untuk mendapat pendidikan tanpa memandang kondisi anak. Hal ini memungkinkan peserta didik difabel bersekolah di sekolah reguler.
Baca juga : Persiapan Mental Bagi Difabel Dalam Memasuki Dunia Kerja
Saya menyambut baik kebijakan tersebut. Hal ini mulai ditandai dengan cukup banyaknya jumlah sekolah penyelenggara inklusi dan siswanya yang meningkat secara signifikan. Namun implementasi di lapangan masih jauh dari apa yang diharapkan. Banyak sekolah mengklaim bahwa sekolah tersebut inklusi. Namun, hanya berlabel inklusi saja karena belum benar-benar menyediakan fasilitas penunjang inklusi. Hal ini mungkin tidak disadari oleh orang awam. Misalnya penyediaan sarana, prasarana yang aksesibilitas untuk difabel seperti ramp untuk difabel pengguna kursi roda, penyediaan SDM ( Guru Pedamping Khusus) yang belum memadai. Guru lebih memilih mengajar siswa non difabel yang tidak terlalu banyak kesulitan. Banyak guru di sekolah reguler masih menganggap bahwa siswa difabel merepotkan karena mereka sudah terbiasa dengan siswa non difabel. Siswa-siswi non difabel juga masih belum tahu bagaimana cara berkomunikasi atau berinteraksi dengan siswa difabel sehingga ada yang berujung pada perundungan. Permasalahan tersebut hanyalah contoh kecil dari banyaknya permasalahan lain yang belum terungkap karena masih banyak yang belum mendapatkan informasi dan jejaring untuk melakukan advokasi ke dinas pendidikan setempat agar bisa diambil tindakan.
Saya berharap, pemerintah terutama dinas pendidikan sudah saatnya aktif mensosialisasikan tentang sekolah inklusif yang ramah dan akses untuk difabel. Selain itu, harus diadakan pelatihan terhadap guru-guru sekolah reguler dalam menangani siswa difabel sehingga tidak kaget dan bingung saat menerima siswa difabel di sekolahnya. Saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) jelaskan bagaimana cara berinteraksi dengan difabel. Bangun fasislitas yang aksesibel untuk difabel, seperti ramp untuk pengguna kursi roda, guiding block atau lantai yang memiliki desain khusus dan untuk membantu dalam mengarahkan difabel netra berjalan di sebuah jalan tertentu. Untuk mewujudkan hal tersebut, tentu butuh waktu, tenaga, biaya serta kerjasama baik dari pihak pemerintah, sekolah, kampus, komunitas difabel serta keterbukaan dari difabel itu sendiri agar dapat membuka diri dan bersosialisasi dengan teman-teman non difabel, sehingga pendidikan inklusif bukan hanya harapan semata tapi bisa menjadi nyata.
0 komentar