Tidak ada manusia yang ingin dilahirkan sebagai disabilitas atau menjadi disabilitas saat dewasa di dalam hidupnya. Begitu juga dengan saya. Ditakdirkan oleh Tuhan menjadi disabilitas saat usia 19 tahun karena kelainan langka bernama Friedreich's Ataxia. Sejak saat itu pula saya harus menggunakan kursi roda sebagai alat bantu mobilitas untuk membantu aktivitas sehari-hari.
Dunia yang saya milikipun berubah total. Yang awalnya berwarna, penuh keceriaan menjadi suram. Ya meskipun saya sudah terlihat istimewa sejak usia 8 tahun dengan bentuk kaki saya yang high arches. Jinjit begitu orang Jawa menyebutnya. Namun saya tidak pernah menyangka jika hal tersebut membuat saya menjadi disabilitas dan harus menggunakan kursi roda di sisa hidup saya.
Menjadi disabilitas itu berat. Adanya stigma negatif di masyarakat tentang disabilitas, jika disabilitas itu adalah sebuah aib, kutukan sehingga ada beberapa keluarga menyembunyikan anggota keluarganya yang disabilitas. Tak hanya itu saja, pandangan masyarakat yang menganggap disabilitas tidak bisa apa-apa dan cumanya bisa merepotkan saja. Padahal disabilitas juga bisa melakukan apa saja, seperti yang dilakukan non disabilitas jika diberi kesempatan dan kepercayaan.
Saya pernah merasa menjadi orang yang tidak berguna. Bisanya cuma menyusahkan saja. Terutama merepotkan Ibu. Bukan tanpa alasan jika saya mempunyai pemikiran seperti itu. Hal ini disebabkan karena kondisi saya yang tak sempurna. Hilangnya kemampuan motorik kaki, sangat berdampak dalam hidup saya. Hal-hal sepele dan mudah dilakukan oleh non disabilitas sangat berat untuk saya kerjakan.
"Apa ada hal yang bisa saya lakukan dalam hidup saya sebagai disabilitas fisik pengguna kursi roda?" tanya saya dalam hati.
Kondisi tersebut membuat saya benar-benar merasa tidak berguna sebagai seorang manusia. Jangankan berguna untuk diri sendiri. Mandiri untuk melakukan aktivitas sehari-hari saja belum bisa. Bingung harus berbuat apa?
Hingga suatu hari saya menyadari. Tidak setiap saat dan setiap waktu ada orang di samping atau di sekitar saya untuk membantu saya beraktivitas. Mereka yaitu keluarga saya yang selalu menolong saya, tentu mempunyai aktivitas masing-masing. Mereka tidak bisa sehari 24 jam berada di sisi saya. Mulai saat itu saya berpikir.
"Bagaimana pun caranya saya harus bisa mandiri. Paling tidak saya tidak bergantung pada orang lain untuk melakukan aktivitas sehari-hari," tekad saya kuat di dalam hati.
Jadi saya mulai mencoba melakukan aktivitas sendiri. Jika benar-benar sudah tidak mampu mengerjakan sendiri, baru meminta bantuan orang lain. Awalnya memang berat, tapi karena terus mencoba dan melakukannya setiap hari, akhirnya jadi bisa dan terbiasa. Seperti kata pepatah yaitu ala bisa karena biasa atau dipaksa, terpaksa dan terbiasa. Alhamdulillah saat ini saya bisa melakukan 90% aktivitas di rumah dengan mandiri.
Setelah merasa bisa mandiri melakukan aktivitas di rumah, saya tidak ingin berdiam diri di rumah saja. Saya ingin melihat dunia luar lagi. Sejak saya menjadi disabilitas di usia 19 tahun, saya banyak menghabiskan waktu di rumah. Salah satu aktivitas yang tidak bisa saya lakukan dengan leluasa adalah bepergian. Mau pergi naik angkot atau bus repot bin ribet, karena kedua sarana transportasi tersebut belum akses untuk pengguna kursi roda. Jadi untuk bepergian, orang tua menyewa mobil, yang tentu saja biayanya lebih mahal, Rp. 250.000, sekali menyewa. Maka saya lebih memilih untuk pergi kalau ada keperluan yang sangat mendesak saja.
Kini dengan kehadiran taksi online, saya dan orang tua tidak perlu pusing lagi kalau mau pergi. Transportasi taksi online biayanya lebih terjangkau, praktis dan cepat. Saya mulai menggunakan jasa taksi online sejak awal bulan Juli 2017 karena keaktifan saya berkegiatan bersama Komunitas Sahabat Difabel, Semarang. Sebelum menggunakan jasa taksi online jika berkegiatan bersama teman-teman disabilitas. Kami, rombongan Banyumanik yang terdiri dari empat orang yaitu saya, Mbak Anna, si kembar Sita dan Vita dijemput dan diantar Mas Adit. Namun karena Mas Adit sudah mulai aktif bekerja. Maka kami diminta Bu Novi, Founder Komunitas Sahabat Difabel untuk pergi dan pulang menggunakan jasa taksi online.
Rombongan Banyumanik (kiri ke kanan) Yeni, Sita, Vita dan Mbak Anna (Foto : Dok. Pribadi) |
Sebenarnya waktu mengetahui tidak ada lagi jemputan saya sempat bingung dan takut, karena saya belum pernah pergi tanpa didampingi Ibu. Kemanapun saya pergi selalu bersama Ibu. Selain itu saya juga tidak begitu paham rute jalan di Semarang.
“Pergi naik taksi online cuma berempat sama orang yang tidak dikenal? Nanti siapa yang mau nolong angkat dan nurunin kursi rodanya? Siapa nanti yang bantu dorong kursi roda dan bantu bopong kamu pindah dari kursi roda ke mobil? Apa nanti sopirnya mau bantu?” Itulah reaksi Ibu saat saya memberitahu beliau. Saya memahami kekhawatiran beliau. Saya mencoba berpikir dan mencari jawaban yang tepat agar ibu memberikan izin.
"Mau gimana lagi Bu, ini cara satu-satunya. Masa bergantung sama jemputan. Dengan naik taksi online kan juga bisa melatih kemandirian. Insya Allah, semua baik-baik aja, Bu.”
Akhirnya ibu memberikan saya izin untuk pergi menggunakan taksi online, karena ibu melihat semangat dan kesungguhan saya untuk berorganisasi serta keingintahuan saya untuk mengetahui dunia disabilitas lebih dalam. Yang akhirnya mampu mengalahkan rasa kekhawatiran dan kecemasan yang ibu rasakan.
Selalu ada yang pertama kali saat kita melakukan sesuatu. Ketika pertama kali saya menggunakan jasa taksi online bersama tiga orang teman disabilitas dari Banyumanik. Jantung berdegub kencang, membayangkan pengalaman apa yang akan saya alami. Ada pikiran negatif menghampiri, tapi buru-buru saya tepis. Terlihat ada raut wajah kaget dari sopir taksi online karena mendapat penumpang disabilitas. Tak hanya satu orang, tapi empat sekaligus.
Naik taksi online membuat saya belajar untuk mengenali berbagai macam karakter manusia. Terkadang saya menemui sopir yang cuek dan hanya diam di sepanjang perjalanan, yang baru membantu ketika dimintai tolong, atau sopir yang ringan tangan, begitu ramah, banyak bercerita, sehingga perjalanan terasa sangat singkat.
Saya juga pernah menjumpai sopir yang sangat pendiam. Hanya bertanya kemana tujuan saya. Jadi di sepanjang perjalanan saya hanya mendengarkan musik juga bermain smartphone. Ada satu hal yang selalu saya tanyakan saat memesan taksi online yaitu mobil apa yang akan menjemput saya? Karena saya membawa kursi roda dan tentu saja membutuhkan mobil berukuran besar.
Menggunakan taksi online tak hanya membuat saya belajar mandiri, tapi juga membentuk kepribadian saya menjadi disabilitas yang tangguh. Saya harus mempunyai mental yang kuat. Bagaimana saya harus menyikapi pandangan orang ketika melihat saya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seperti menganggap saya manusia dari planet lain karena memakai kursi roda atau pertanyaan-pertanyaan lain tentang jenis disabilitas yang saya miliki. Semua itu saya hadapi dengan berbesar hati. Menjadikannya sebagai sarana edukasi kepada masyarakat tentang disabilitas. Bahwa disabilitas itu ada. Namun sayangnya terkadang keberadaannya sering terabaikan.
Karya saya berupa cernak atau cerita anak dimuat di Majalah Bobo |
Karya saya berupa buku antologi yang diterbitkan oleh penerbit indie ataupun mayor. |
Stigma terhadap disabilitas seharusnya bisa dihilangkan dari masyarakat. Namun untuk melakukannya tidak bisa semudah membalikkan telapak tangan bukan? Diperlukan usaha yang konsisten dan terus menerus serta didukung oleh berbagai pihak. Lalu dimulai darimana dan siapa usaha untuk melawan stigma terhadap disabilitas? Harus diawali dari disabilitas itu sendiri. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan berkarya. Berkarya sesuai bakat dan minat agar bisa setara dengan non disabilitas.
"Apa karya yang bisa saya hasilkan dengan keterbatasan yang saya miliki?" Saya tidak menyerah. Saya yakin pasti ada jalan keluar. Saya mulai dari hobi yang saya miliki yaitu menulis. Awalnya menulis saya jadikan sebagai aktivitas agar tidak terlalu memikirkan kondisi yang saya miliki juga sebagai healing theraphy untuk mencurahkan apa yang saya pikirkan, rasakan, lihat dan dengar. Awalnya saya menulis di diary, lalu mencoba menulis di blog. Saya berbagi cerita bagaimana menjalani hidup sebagai odalangka (orang dengan kelainan langka), apa itu Friedreich's Ataxia. Saya juga membagikan sedikit ilmu yang saya miliki tentang dunia disabilitas dan dunia literasi.
Saya tidak menyangka postingan saya di blog mendapat respon positif dari para pembaca. Seringkali saya menerima pesan baik melalui E-mail, Facebook maupun Instagram dari para pembaca. Mayoritas dari mereka mengucapkan terima kasih dan merasa terbantu dengan postingan saya di blog. Bahkan ada juga yang merasa mendapat inspirasi dan motivasi. Ada juga yang ingin belajar menulis bersama.
Dari menulis, saya sudah menerbitkan 17 buku antologi baik yang terbit di penerbit indie ataupun mayor, tulisan seperti cerita anak, cerita remaja, cerita humor, cerita misteri dimuat di media cetak lokal ataupun nasional, juara lomba blog dan lomba menulis Pilpres 2019 yang diselenggarakan oleh salah satu lembaga tingkat nasional bertajuk "Blogger Cerdas Menulis, Rakyat Cerdas Memilih". Lewat menulis saya bisa berkarya dari rumah.
Keterbatasan bukanlah sebuah alasan. Asal ada kemauan dan tekad kuat, Allah akan membukakan jalan. Tak hanya berkarya, seorang disabilitas juga harus belajar, dengan meng-upgrade ilmu yang dimiliki. Apalagi di era teknologi digital seperti saat ini. Kita bisa menjumpai berbagai macam pelatihan yang bisa kita ikuti sesuai minat kita. Saya sangat terbantu dengan adanya teknologi. Dengan bermodal gadget dan internet, saya bisa menemukan informasi mengenai lomba-lomba menulis atau pelatihan menulis secara luring ataupun daring yang mampu meningkatkan kemampuan saya di dunia literasi. Saya juga tidak membatasi diri untuk belajar dan mengikuti pelatihan hanya mengenai dunia literasi, tapi juga pelatihan-pelatihan yang lain. Salah satunya adalah pelatihan konten kreator yang diadakan oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan Yayasan Paradifa Prama Indonesia dari tanggal 30 Agustus hingga 17 September 2022.
Menjadi seorang penyandang disabilitas yang mandiri itu memerlukan proses yang panjang. Bukan hitungan jam ataupun hari, tapi bertahun-tahun dan terus berlanjut di dalam proses perjalanan hidupnya. Mandiri menurut saya, sebagai seorang penyandang disabilitas karena kelainan langka Friedreich's Ataxia bukan hanya sekedar mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari, tapi juga mandiri secara finansial. Saya memang tidak bisa mandiri 100%, tapi paling tidak saya tidak menggantungkan hidup saya pada orang lain. Bisa melakukan 90% aktivitas di rumah saja, saya sudah sangat bersyukur. Mandiri finansial bagi saya adalah ketika saya bisa mencukupi kebutuhan hidup saya tanpa menengadahkan tangan pada orang lain. Tidak menjadi beban hidup keluarga.
Menjadi seorang penyandang disabilitas yang tangguh adalah ketika saya mempunyai mental yang kuat saat berada di luar. Berinteraksi dengan orang lain, dengan segala stigma negatif yang masih melekat pada penyandang disabilitas di tengah masyarakat. Kehidupan yang sesungguhnya adalah ketika kita berada di luar lingkungan zona nyaman kita.
Seorang penyandang disabilitas harus bisa berkarya untuk menunjukkan keberadaannya. Bahwa saya ada dan setara dengan kalian. Saya juga bisa berkarya seperti non disabilitas, meski dengan cara yang berbeda. Dengan karya, saya tak perlu repot-repot menjelaskan siapa diri saya. Karena karya sayalah yang akan berbicara.