Ilustrator : Regina Primalita
Alhamdulilllah Cernak saya Kembul Bujana dimuat di Kompas Klasika Nusantara Bertutur, edisi hari Minggu, 22 Juli 2018.
Saya mengirim cernak ini 2 hari sebelum Deadline (16/07). Ide cernak ini saya peroleh juga di waktu yang mepet yaitu hari Sabtu (14/07) setelah dapat ide langsung eksekusi.
Minggu pagi, saya punya feeling, kalau cernak saya bakal dimuat dan minta tolong bapak buat beli koran, tapi sayangnya koran Kompas-nya sudah habis hiks ... Untung ada tetangga depan rumah yang langganan.
Pinjem bentar buat nge-cek dan Alhamdulillah cernak aaya dimuat dengann perubahan judul asli dari Upacara Kembul Bujana menjadi Kembul Bujana.
Alhamdulillah,korannya juga dapat setelah minta tolong adik buat beli koran di Gramedia, karena kehabisan koran di Banyumanik.
Selamat Membaca!
Dimuat di Kompas Klasika Nusantara Bertutur, Minggu, 22 Juli 2018
UPACARA KEMBUL BUJANA
Oleh : Yeni Endah
Sabtu pagi warga Sleman, Yogyakarta sudah berdatangan di rumah Nenek Harti. Warga datang tidak dengan tangan kosong, tetapi mereka membawa sebuah bakul. Nimas yang sedang berlibur di rumah neneknya merasa heran dengan aktivitas di Sabtu pagi yang cerah.
“Kenapa rumah nenek ramai sekali? Semua warga pada kumpul di sini?”
“Mereka ingin bekerja bakti, ibu-ibu akan memasak bersama dan bapak-bapak akan memasang tenda,” jelas Nenek Harti pada Nimas cucunya.
“Mau ada pesta ya Nek. Kok Nimas nggak tahu.”
“Bukan pesta tapi syukuran, karena panen padi melimpah. Kita akan mengadakan acara kembul bujana.”
“Apa itu, Nek?” tanya Nimas penasaran.
“Kembul bujana merupakan salah satu tradisi Jawa yang berasal dari nenek moyang yaitu menyantap makanan secara bersama-sama. Kembul bujana dimaknai sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan."
“Wah asyik ada acara makan-makan,” pekik Nimas gembira.
“Kembul bujana bukan hanya sekedar acara makan-makan, tapi ungkapan syukur pada Tuhan. Nanti kita duduk lesehan menikmati hidangan sebagai simbol bahwa setiap manusia memiliki kedudukan yang sama dihadapan Tuhan. Tidak memandang Suku, agama, ras ataupun golongan. Begitu pula dengan hidangannya, masing-masing memiliki makna filosofis. Sementara nilai-nilai sosial yang terkandung dalam tradisi ini yaitu memperat rasa persaudaraan, gotong-royong untuk menyiapkan segala kebutuhan acara serta memberi sedekah makanan untuk warga sekitar yang kurang mampu,” jelas Nenek.
Nenek dan Nimas kemudian ke dapur, di sana ibu-ibu membagi tugas. Ada yang menanak nasi, menggoreng lauk, memasak sayur dan menyiapkan lalapan dan juga buah.
Menjelang pukul 12.00, persiapan sudah selesai. Semua makanan yang telah dimasakpun ditata dengan rapi.
“Hi, Nimas,” suara Togar memanggil dengan logat bataknya mengejutkan Nimas. Saat membalas panggil Togar, Nimas makin terkejut karena kedua sahabatnya Ling-ling dan Ujang berada di belakang Togar.
“Kok mereka ada di sini, Nek?” tanya Nimas heran sambil melirik ke arah nenek Harti.
“Memangnya kenapa? Upacara ini boleh dihadiri siapapun.”
“Bukannya acara kembul bujana itu tradisi adat Jawa, Nek?”
“Kamu benar, tapi bukan berarti hanya boleh dihadiri suku Jawa saja. Justru dengan hadirnya orang-orang dari suku lain, mereka bisa belajar tentang tradisi upacara yang kita miliki. Begitu juga sebaliknya. Kita harus menghargai satu sama lain. Ini namanya keberagaman Indonesia.”
Nimas mengangguk-angguk tanda mengerti. Saat acara penutupan Kembul bujana, Nimas, Togar, Ujang dan Ling-Ling duduk lesehan menyantap hidangan yang disajikan dalam pincuk dari daun pisang. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Tidak ada perbedaan antara suku Jawa, Batak, Sunda ataupun Tionghoa sebab mereka adalah warga Indonesia. Indahnya keberagaman, jika kita bisa menghargai satu sama lain.
SELESAI